Tiga hari kembali terlewati dengan baik. Seluruh pekerjaan berjalan tanpa hambatan yang berat. Walau ada satu-dua hal sedikit menganggu, tak apa. Toh, pekerjaan pasti punya masalah tersendiri. Yang menjadi satu-satunya masalah selama tiga hari ini adalah Yudha yang hidup seperti mayat hidup. Hidup segan mati tak mau.
Jika tidak sedang berkomunikasi dengan nasabah, maka Yudha hampir tidak pernah tersenyum. Laki-laki itu malah sering terlihat melamun di meja kerjanya. Belum lagi, Yudha sudah sering melewatkan waktu makan. Sampai-sampai wajahnya terlihat pucat dan kurang tidur.
Akhirnya, hari itu, setelah makan malam, Yudha yang biasanya langsung pergi ke kamar memutuskan untuk bergabung dengan keluarganya di ruang tengah. Ia tanpa suara ikut menyimak siaran berita yang ditayangkan di televisi.
Semakin larut, satu persatu anggota keluarganya mulai kembali ke dalam kamar masing-masing. Yang pertama kali beranjak tidur tentu kedua adiknya. Disusul oleh papanya setengah jam kemudian. Menyisakan Yudha dengan Nia yang masih pura-pura fokus menonton televisi yang kini sudah menayangkan program lain.
Lima belas menit lagi-lagi berlalu hingga akhirnya Nia memutuskan angkat suara.
"Kamu mau sampai kapan diam aja? Mama juga mau tidur. Udah hampir tengah malam, nih."
Merasa tertangkap basah, Yudha cengengesan. Ia memang sengaja menunggu semua anggota keluarganya tidur, kecuali Nia. Sejak hubungan mereka membaik, Yudha malah lebih nyaman cerita pada mamanya. Sayangnya, ia juga bingung bagaimana memulai percakapan yang terasa canggung ini.
"Eh, mama...mama dulu ketemu papa gimana?"
Aduh, dari sekian banyak pertanyaan pembuka yang bisa Yudha ajukan, kenapa ia malah mengajukan pertanyaan sensitif itu? Bisa saja Nia malah salah paham dan menganggap Yudha ingin mengungkit kembali cerita lama yang menyakitkan itu.
Namun, selayaknya seorang ibu, Nia malah tersenyum.
"Kenapa kamu malah tanya itu? Kan kamu tau sendiri ceritanya. Malahan waktu papa pertama kali ke rumah mama, kamu juga ikut kan?"
"Se-sebenarnya Yudha bukan mau nanya itu, ma."
"Terus kamu mau nanya apa? Kok kamu gugup banget?"
Cukup lama Yudha terdiam hingga ia akhirnya memberanikan diri untuk bicara,
"Yudha...Yudha mau ta'aruf ma."Tentu saja, sesuai perkiraan Yudha, Nia melotot tidak percaya. Bahkan mamanya itu sempat terdiam beberapa menit seolah meyakinkan diri bahwa dirinya tidak salah dengar.
"Kamu kerasukan, Yudh? Atau kepentok tembok?"
"Bukan ma. Yudha serius."
Demi melihat ekspresi Yudha yang nyaris merengek, Nia akhirnya memperbaiki posisi duduk agar sempurna fokus pada anak sulungnya itu.
"Mama ga paham, Yudh. Coba kamu jelaskan."
Maka, Yudha mulai menceritakan semuanya. Pertemuan awal mereka di rumah sakit. Pertemuan mereka yang tidak sengaja di cafe. Juga kejadian di rumah sakit hingga peristiwa di depan kos Alifa saat itu. Yudha menutup ceritanya dengan pertemuan mereka tiga hari yang lalu dan persoalan ta'aruf itu.
"Jadi kamu beneran mau ta'aruf sama dia?"
"Jujur, Yudha sendiri belum yakin, ma. Yudha takut ga bisa bertahan dengan mekanisme ta'aruf ini. Mama sendiri tahu kan, Yudha udah terbiasa pacaran."
Nia mengangguk paham.
"Ta'aruf itu, artinya berkenalan. Dalam ta'aruf ini, intinya kamu berkenalan dengan seseorang yang apabila cocok, Insyaa Allah akan menjadi pasangan hidup kamu. Kalau di tengah proses nanti kamu menemukan ketidakcocokan pada dirinya, atau sebaliknya, kalian bisa mengakhiri proses ta'aruf ini baik-baik.",
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terang [LENGKAP]
RomanceTentang keluarga dan pasangan. Tentang alur nyata kehidupan. Tentang berdamai dengan semua takdir menyakitkan. Tentang menerima, mencintai, dan saling menguatkan. Cerita tentang titik terang dalam hidup yang gelap dan diselimuti kebohongan.