BAB 15 | Hari Pernikahan

58 6 1
                                    

"Kisah kita sudah sampai di ujungnya. Setelahnya mungkin ada rindu akan waktu yang lama. Namun, jangan lupa bahwa kebersamaan kita tak pernah mendapat restu dunia."

-----

Di dalam kamarnya, Yudha duduk di pinggiran tempat tidur. Jendela sengaja ia biarkan terbuka. Menikmati hembusan angin yang sesekali terasa cukup sejuk. Tangannya memegang undangan berwarna pink yang diterimanya tempo hari. Ya, undangan pernikahan wanita yang dicintainya dengan laki-laki lain.

Meski kenyataannya, selama hampir enam tahun ini Yudha berada di dalam pengaruh pelet Lidya, namun hal itu tentu tidak serta-merta membuat kebersamaan mereka menjadi tidak berarti sama sekali. Tolonglah. Yudha sudah cukup terbiasa dengan keberadaan wanita itu di hidupnya. Rasa cinta itu memang ada di dalam hatinya hingga saat ini, meski mulai terkikis karena tertampar kenyataan. Dan fakta bahwa wanita itu akan menikah pagi ini sama sekali tidak mudah untuk ia terima.

Dering ponsel milik Yudha tiba-tiba saja membuat lamunan laki-laki itu terhenti. Ia baru ingat bahwa semenjak dia kesetanan kemarin, ia tidak lagi melihat benda pipih yang satu itu. Spontan, Yudha beranjak dari posisinya. Mencari dimanakah ponselnya yang sedang berdering itu berada.

Rupanya, benda itu terletak manis di sofa ruang tengah. Yudha tidak tahu bagaimana benda itu berada di sana. Ia tidak sempat memikirkannya karena nama yang tertera di layar membuat otaknya seolah berhenti bekerja.

Lidya

Yudha sebenarnya tidak sanggup mengangkat panggilan itu. Di sana, Lidya pasti akan segera berstatus menjadi istri laki-laki lain mengingat ini sudah pukul 7.10, sementara akad akan diadakan 5 menit lagi. Namun, di satu sisi, Yudha penasaran dengan apa yang akan dikatakan perempuan itu.

Setelah mencoba meyakinkan diri secepatnya, Yudha mengangkat panggilan itu. Biarlah ini menjadi kali terakhirnya mereka berhubungan. Semoga setelah ini ia bisa ikhlas dan menutup lembaran lama hidupnya.

Awalnya, yang Yudha dengar hanya hening dan samar-samar keramaian. Satu menit panggilan itu berlangsung, dari seberang sana, Lidya masih belum mengucapkan sesuatu. Yudha juga masih diam dan menunggu. Ia bingung untuk memulai pembicaraan.

Dua menit, tidak ada kemajuan.

Tiga menit, masih sama heningnya.

Yudha yang mulai hilang kesabaran hampir saja mengeluarkan suara, namun lebih dulu terpotong oleh kalimat yang seolah-olah berasal dari pengeras suara.

"Saya terima nikahnya Lidya Hafra Osky binti Ahnaf Hanafi dengan seperangkat alat shalat dibayar tunai"

Deg! Yudha mematung. Bahkan tanpa sadar menahan napasnya. Yudha sama sekali tidak mengerti apa maksud Lidya melakukan semua ini. Yang ia tahu, dadanya sekarang terasa penuh dan sesak dengan rasa sakit.

Yudha ingin memutuskan panggilan itu. Toh, tak ada gunanya ia mendengar lebih lanjut lagi. Hanya akan menambah luka di hatinya. Sayangnya, suara serak Lidya lebih dulu terdengar di telinganya.

"I love you, Yudh. Andaikan kamu yang mengucapkannya."

Sempurna sudah luka di hati Yudha menganga dan berdarah. Harusnya ia memang tak pernah mengangkat panggilan itu.

Panggilan itu akhirnya terputus. Yudha meremas ponselnya kuat. Seolah-olah mencari kekuatan di sana. Berusaha menyemangati diri sendiri bahwa dia masih bisa melanjutkan hidup dengan cara yang baik.

"Uda?"

Sapaan kecil dari Zahra membuat Yudha menoleh. Memperlihatkan gadis kecil itu berdiri tak jauh darinya. Menunduk seraya memainkan jari-jemari dengan gelisah.

Titik Terang [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang