CHAPTER 44

2.7K 306 10
                                    

Sahabat sejati itu bukanlah mereka yang memiliki banyak persamaan dengan kita,
Akan tetapi mereka yang memiliki pengertian terhadap setiap perbedaan satu sama lainnya.

_Syifa Arkila_

SELAMAT MEMBACA
^^
----

Setelah melihat kakaknya dan Dokter itu keluar dari kamarnya, Zeni segera menuju kamar mandi. Tak lupa ia pun mengunci pintu kamarnya. Ia duduk sambil memeluk lututnya, shower di atas kepalanya mengguyur tubuh gadis itu. Dinginnya air seperti menusuk-nusuk kulitnya. Lagi-lagi air mata itu luruh, ia menangis dalam diam meresapi rasa sakit yang sangat betah berada dalam dirinya.

"Kenapa sesakit ini?"

"Kenapa engkau tetapkan takdir untukku sesakit dan seberat ini?"

"Aku tidak sanggup, bolehkah aku menyerah?"

"Tolong ajari aku menerima kenyataan tanpa harus membenci kehidupan, ya Tuhan."

"Aku tidak kuat, badan ku lemah, hatiku rapuh, lantas bagaimana lagi aku bisa bertahan?"

DUARRRRR

Suara petir yang menggelar bersamaan dengan turun hujan yang sangat deras. Langit sedang bersedih, sama seperti diri Zeni. Seolah-olah Semesta mengerti perasaan Zeni.

"Tidak minta apa-apa lagi Tuhan, sekarang aku sudah pasrah akan hidupku. Jika sudah takdirnya, maka kembalikanlah nyawaku kepadamu. Namun jika belum saatnya, maka kuatlah hatiku," Lirihnya dengan suara yang bergetar akibat dinginnya air yang menusuk kulitnya. Kulit gadis itu sudah membiru, wajahnya pucat, bibirnya bergetar hebat, air matanya masih senang untuk berseluncur, fisiknya sakit, hatinya sangat perih. Namun, belum ada tanda-tanda ia akan bangkit dari duduknya.

Hingga mata yang sedari tadi mengeluarkan cairan bening, kini tertutup sempurna bersamaan dengan tubuhnya tergeletak di lantai.

**

"Saya kasih kamu dua pilihan!" Ucapan itu membuat Zeni menatap Papa dan Mamanya yang berdiri di samping ranjangnya. Keadaan Zeni sangat lemah sehabis bangun dari pingsan kemarin. Ia hanya bisa duduk di kasurnya dengan pikiran kosong.

"A-apa Pa?"

"Kamu turuti semua perintah saya atau saya akan pisahkan kamu dengan Elin selamanya!"

Deg

"Perintah apa Pa?" Tanyanya lagi.

"Belajar seperti Elin!"

"T-tapi Zeni tidak bisa Pa," keluhnya menatap kedua orang tuanya.

"Berarti kamu siap berpisah dengan Elin untuk SELAMA-LAMANYA!" Ucap Reno menekan kata terakhir yang ia ucapkan.

Zeni bimbang, ia tidak bisa seperti Elin, tetapi ia juga tidak mau kehilangan kakaknya itu. Ini pilihan yang sangat berat untuknya, ia rela di siksa oleh orangtuanya asal jangan pisahkan ia dengan kakaknya.

"Zeni butuh waktu untuk memberi keputusan, Pa," Lirih Zeni menundukkan kepalanya.

"Saya kasih kamu waktu 5 menit, saya tunggu di ruang kerja. Jika lewat, maka saya akan membawa Elin pergi saat ini juga!" Ucap Pria itu lalu pergi dari kamar Zeni bersama dengan Zila.

Zeni tidak habis pikir dengan Papanya, 5 menit? Bagaimana memberi keputusan dalam waktu 5 menit.

Gadis itu turun dari ranjangnya lalu berjalan tertatih ke ruang kerja Papanya, kepalanya sangat sakit.

Tok tok tok

"Masuk!" Perintah orang yang berada di dalam ruangan tersebut.

Zeni membuka pintu, ia dapat melihat seorang Ayah yang ia sayangi sedang menatap layar laptop di depannya. Hatinya sakit, ia sangat merindukan sikap Papanya sewaktu ia masih kecil dahulu. Kemana kasih sayang itu? Zeni benar-benar merindukannya.

ZENIKA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang