[22] Beban Si Cantik

8.8K 644 29
                                    

"Aku dipaksa mundur oleh keadaan. Bertahan tak ada harapan, apa lagi maju."­– Nalaka.

Di halaman mansion mewah Nala, terparkir mobil alphard yang tak asing namun jarang berada di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di halaman mansion mewah Nala, terparkir mobil alphard yang tak asing namun jarang berada di sana. Nala sampai lupa kalau pemilik mobil tersebut adalah orang tuanya. Jika kedatangan mereka dulunya menjadi senyum untuk Nala, namun kali ini dia tak acuh. Persetan dengan rasa rindu yang sudah mendarah daging.

Nala memasuki mansion, kepalanya tegap berbeda dengan sebelumnya yang selalu menunduk ketakutan. Tanpa salam pembuka Nala melewati kedua orang tuanya begitu saja.

"Nalaka," panggil Johandi.

Nala tak menoleh sama sekali, "Kenapa?"

"Berani-beraninya kamu membelakangi saya seperti itu," timpal Johandi.

Nala memejamkan matanya muak, lalu membalik badannya. Andai saja bukan papanya, mungkin sudah Nala maki-maki. "Kenapa, Pa?" tanya Nala mencoba untuk tetap tenang.

Disana juga ada Dian, menatap Nala dengan malas. "Kamu ini orang tua datang bukannya di sambut dengan baik, tapi kamu malah cemberut kayak gitu."

Nala tertawa miring, apa kata mereka menyambut dengan baik. Bukankah selama ini, Nala sudah melakukan hal tersebut. Namun, balasan mereka yang tidak baik.

Dengan gerakan lamban Nala menurunkan ego, mendekat dan mencium tangan kedua orang tuanya. Sungguh dia lelah berpura-pura.

"Mau kemana kamu?" tanya Johandi ketika melihat Nala langsung pergi setelah menjabat tangannya.

"Mau ke kamar, Pa. Nala capek dari sekolah."

"Nala kamu nggak tau diri banget, yah. Kami datang kesini untuk kamu, loh," sahut Dian.

Nala benar-benar tidak habis pikir. Permainan kedua orang tuanya tak kunjung usai. "Nala nggak salah denger, kan? Sejak kapan kalian peduli sama aku, SEJAK KAPAN KALIAN DATANG KE RUMAH INI UNTUK AKU?" Nada suara Nala naik satu oktaf, tolong biarkan gadis itu mengeluarkan semua kekesalannya.

"NALA!!" bentak Johandi, sebelah tangannya terangkat ingin menampar Nala. Namun, di tahan oleh Dian.

"Mas yang tenang,"  sergah Dian.

Setetes air mata Nala terjatuh, namun sudut bibirnya terangkat membentuk senyum. Seperti hujan tanpa mendung, begitulah suasana hati Nala, tersenyum ketika air matanya jatuh. "Aku sayang Papa, bahkan ketika Papa nampar Nala pun nggak bakal ngurangin rasa sayang aku ke Papa. Asal Papa tau, sekejam-kejamnya Papa. Papa tetep cinta pertamaku," ujar Nala menahan isak tangisnya, tenggorokannya sampai perih.

Johandi terdiam sejenak mendengar penuturan anaknya. Namun, pada dasarnya pria ini memang keras tidak mudah untuk diluluhkan. Dia malah menyeret Nala dan mengurung gadis itu di gudang.

"INI HUKUMAN KARENA KAMU MELAWAN SAYA!! JANGAN MERENGEK SEPERTI ANAK CENGENG UNTUK DI BEBASKAN DARI RUANGAN INI. DASAR ANAK MANJA!" Kemarahan Johandi seperti di ujung tanduk, padahal Nala tidak melakukan kesalahan besar.

RAGNALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang