[37] Gerbang Sekolah sebagai Saksi

8.1K 699 192
                                    

"Wujudnya masih sama, tapi dengan versinya yang berbeda. Dua versi, satu wujud semuanya aku suka." – Nalaka.

Seminggu setelah kepulangan Raga dari London

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seminggu setelah kepulangan Raga dari London. Raga menatap mansion yang dia tinggalkan mendadak beberapa hari yang lalu. Sekarang tanggal 18, Mamanya kemarin ulang tahun dan Raga tak hadir. Namun, bukankah ada atau tidaknya dia, tak ada pengaruhnya sama sekali. Mungkin, lebih baik jika Raga memang tak hadir.

Tepat sekali. Baru saja dia berhenti memikirkan Mamanya, sekarang Raga bertemu langsung dengan wanita itu. Raga tersenyum hangat, tapi yang dia dapat hanya wajah datar. Mungkin inilah definisi jika dingin tercipta dari hangat yang didiamkan. Menjadikan Raga sebagai sosok yang sulit untuk ditembus.

"Inget pulang juga kamu? Seminggu ngilang, kayak nggak punya keluarga aja," ketus Diandra.

Raga tak menjawab, dia hanya bisa menunduk. Apapun yang dia katakan, tidak akan pernah mendapat pembenaran.

"Rumah ini bukan penginapan, yang seenak jidat kamu mau datang kapan aja. Sekalian keluar aja dari rumah ini, biar nggak jadi beban." Diandra semakin menjamkan tatapannya. Jika bukan karena Abraham, sudah jelas Raga akan diusir dari sana.

"Maaf, Ma." Kali ini Raga memberanikan diri untuk bersuara. Rasa-rasanya satu kata itu sudah fasih Raga ucapkan ketika mengobrol dengan Diandra.

Diandra tak menanggapi, dia meninggalkan Raga yang masih mematung. Beberapa detik kemudian langkahnya terjeda karena mendengar penuturan dari Raga.

"Selamat ulang tahun, Mama." Raga tetap mengucapkan selamat meski telat sehari. Setiap tahun Raga memang berlaku demikian, walaupun tak mendapat apresiasi sama sekali.

Wanita paruh baya itu mendengus pelan, lalu melanjutkan langkahnya tanpa menjawab ucapan Raga. Mau seratus ucapan dari anak itu tidak akan ada artinya untuk Diandra. Jiwanya sudah dipenuhi dengan rasa benci yang membakar.

Punggung yang semakin menjauh, namun Raga masih setia menatap hingga tak bisa dijangkau oleh pandangan. Raga melangkah pelan, menuju anak tangga. Berniat mengambil gelas dari tanah liat yang sudah dia buat khusus untuk Mamanya.

Cowok itu terus mencari. Raga ingat betul, sebelum pergi dia sempat menyimpan benda itu dengan aman dilaci mejanya. Dia memang bertekad memberikan hadiah itu secara langsung pada Mamanya.

"Nyari apa?"

Suara melengking yang sudah sangat Raga hafal, terdengar dari ambang pintu kamarnya. Cowok itu memutar badan, mendapati Gita yang bersedekap dada.

"Lo lihat kado gue untuk Mama, nggak?" tanya Raga.

"Itu ditempat sampah," jawab Gita enteng sembari menatap tempat sampah yang berada disamping pintu toilet.

Segera Raga mendekati arah pandang Gita. Benar saja, tanah liat yang susah payah dia bentuk menjadi sebuah gelas itu pecah berantakan di dalam tempat sampah.

RAGNALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang