[28] Bunda dan Nalaka

9.4K 639 19
                                    

"Lo salah karena lo cinta sama gue, saat gue masih banyak lukanya. Luka yang harus disembuhkan dulu." – Raga.

Sinar matahari mulai melaksanakan tugasnya, termasuk menembus ventilasi di kamar baru Nala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sinar matahari mulai melaksanakan tugasnya, termasuk menembus ventilasi di kamar baru Nala. Sudah tiga kali alarm di ponsel Nala berdering tapi tak satupun gadis itu dengar. Semalam dia tidur agak terlambat karena masih perlu beradaptasi dengan waktu di London. Hingga suara bel apartement Nala berbunyi nyaring, membuat Nala harus bangkit dan melawan kantuknya.

"WHAT THE FUCK! Udah jam sembilan, anjir. Kok gue molor sih?" umpat Nala kesal ketika melihat jam melalu ponselnya.

TING! TING! TING!

Kembali tersadar dengan seseorang yang berada diluar sana, Nala menepuk dahinya berulang kali. "Nala bego, Nala bego! Itu pasti suruhan Papa." Nala merutuki dirinya sembari berlari membukakan pintu untuk seseorang yang dari tadi tak sabaran menekan tombol bel di apartement Nala.

Gadis itu bernapas lega, ketika Faris yang ada di depan pintu. "Sial, gue kira suruhan Papa," ujar Nala ngos-ngosan.

Faris melihat Nala dengan tatapan bingung. Gadis yang ada hadapannya itu seperti tak sadar jika sekarang rambutnya acak-acakan, piyama yang masih melekat, dan juga penutup mata di kepala Nala. Ciri khas orang baru bangun tidur. "Nggak dibiarin nih temennya masuk?" tegur Faris karena Nala hanya diam dan sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Eh, masuk-masuk!" Nala menggeser tubuhnya memberi jalan agar Faris bisa masuk. Kesadarannya sudah kembali, terlebih saat melihat seorang gadis yang ada disamping Faris. "Ris?" panggil Nala sembari menatap gadis itu seolah bertanya 'siapa dia?'.

"My favorite girl," jawab Faris semakin mengeratkan genggamannya.

Nala mengangguk paham. "Ini yang lo maksud kemarin?" tanya Nala kemudian.

"Namanya Maddie bukan ini!" Faris memberi penekanan saat menyebut nama gadisnya.

Nala mendengus kasar. Dilihat-lihat dari sikap Faris terhadap Maddie sepertinya cowok itu sangat posesif. Entah nasib apa yang akan menimpah Nala, setiap saat dia pasti disuguhi kebucinan dua makhluk itu.

"Kalian mau makan apa?" tanya Nala mencoba ramah padahal jauh dalam lubuk hatinya dia tak ingin melihat mereka bucin di apartement miliknya.

Gadis yang bernama Maddie itu menggeleng penuh, tak lupa dengan senyum dan mata sipit yang menghiasi wajahnya. Sepertinya dia keturunan Chinese. "Nggak perlu siapin apa-apa! Kita tadi udah beli sarapan untuk di makan bareng-bareng," ujar Maddie lembut.

Nala ikut duduk di sofa sedangkan Maddie sibuk mempersiapkan sarapan mereka. Ketika semuanya sudah siap di meja, Maddie bersuara sembari mengulurkan tangannya. "Kenalin gue, Madeline Tan. Panggil aja Maddie."

"Gue Nalaka Cempaka Bumi, panggil aja Nala." Nala membalas uluran tangan Maddie. "Lancar bahasa Indo?" tanya Nala penasaran.

Maddie tersenyum. Satu persamaan yang Nala ketahui antara Faris dan Maddie keduanya sama-sama mudah untuk tersenyum membuat orang-orang sekitarnya merasa nyaman. "Gue lahir di Jakarta meski ada campuran China-nya, gue pernah menetap di Jakarta dan gue kesini saat berumur sekitar dua belas tahun," terang Maddie. "Kita ngobrolnya nanti yah, kasihan makanannya dianggurin."

RAGNALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang