[45] Realita Paling Rumit

5.8K 501 44
                                    

"Jika titik tertinggi dalam mencintai adalah mengikhlaskan, maka aku tidak akan mencapai titik itu. Karena, bagiku mengikhlaskan adalah realita paling rumit." – Nalaka.

Dua anak manusia yang sedang mengitari Jakarta bersama dengan rasa yang tumbuh disetiap masa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua anak manusia yang sedang mengitari Jakarta bersama dengan rasa yang tumbuh disetiap masa. Raga mengajak Nala menghabiskan malam minggu menggunakan kuda besinya. Keduanya sama-sama tersenyum merekah, hingga Raga lupa pertemuannya dengan Pilar sore tadi. Biarkan saja sementara begini, karena malam itu mungkin saja tidak bisa diulang untuk malam-malam selanjutnya.

"Nal, mau ke pasar malam, nggak?" tanya Raga sedikit mengencangkan suara dibalik helm sportnya.

"Boleh," balas Nala sumringah.

Roda motor Raga terus berputar hingga tiba disebuah pasar malam yang begitu ramai. Nala lebih dulu turun diikuti dengan Raga. Cowok itu melepas helmnya, lalu bergerak melepas helm di kepala Nala dengan pelan. "Maaf yah, Nal. Malam minggu yang seharusnya lo habisin untuk belajar olimpiade harus terganggu karena keinginan gue," sahut Raga sembari merapikan anak rambut Nala.

"Hidup gue nggak sepenuhnya tentang olimpiade, Rag. Gue juga butuh refreshing," timpal Nala. Tangan gadis itu kemudian mengalung di lengan Raga membuat sang empu tersentak sejenak, namun sepersekian detik senyum Raga terbit bersamaan dengan matanya menyipit.

"Kenapa, Rag?" tanya Nala saat sadar jika ada perubahan sikap dari cowok itu.

Raga mengusap ujung hidungnya yang tak gatal, pipinya sedari tadi berusaha menahan senyum, tapi tak bisa. "Gue salting dirangkul kayak gini," ujar Raga jujur, debaran jantungnya berpacu sangat cepat ketika kulit lengan Nala menyentuh permukaan jaket denimnya.

Terkekeh renyah, lalu Nala menarik tangannya hingga rangkulannya dilengan Raga terlepas. Sialan, Nala ikut salah tingkah, apalagi tatapan Raga yang benar-benar menenangkan. "Apaan sih, Rag?! Namanya juga pacaran, normal kok kalau saling rangkul. Masa mau gelut," cerocos Nala.

"Iya-iya. Sini tangannya!" pinta Raga.

Nala mengerutkan keningnya. "Untuk?"

"Semesta ingin mengenggam tangan Bumi," jawab Raga lantang.

Nala menyerahkan telapak tangannya dan Raga langsung menautkan sepuluh jari-jari itu. "Semesta dan Bumi harusnya nggak boleh melepaskan, karena mereka satu-kesatuan. Iya kan, Rag?" tanya Nala. Keduanya kini berjalan santai di tengah keramaian.

Kepala Raga mengangguk ragu, namun detik berikutnya mengangguk lebih semangat. "Bumi itu miliknya Semesta, jika Semesta melepas Bumi maka semua kehidupan yang ada didalamnya akan berakhir, Nal."

"Seperti lo, Rag. Ketika lo ngelepasin gue, detik itu juga kehidupan gue sudah berada di titik ujung," tanggap Nala serius. Meski dia tahu setiap pertemuan akan menemukan perpisahan, tetapi bersama Raga, saat perpisahan itu tiba, maka masa Nala juga sudah berujung.

RAGNALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang