"Rela jatuh cinta berarti rela juga menerima paket komplit dari sebuah rasa. Karena, Tuhan dengan cerdasnya menciptakan sedemikan rupa penyerta lain untuk jatuh cinta." – Raga.
Suasana canggung menyelimuti Raga dan Nala, setelah kejadian tadi keduanya tak saling mengeluarkan suara. Nala yang tak menjelaskan apapun dan Raga yang enggan berbicara. Sama-sama meninggikan ego masing-masing.
Mengembuskan napas pelan, akhirnya Nala memberanikan diri. "Maaf, yah. Kalau lo nggak suka gue deket-deket sama Kak Genta, gue bisa kok mengundurkan diri untuk nggak ikut olimpiade."
Nada pasrah yang terdengar dari Nala, membuat Raga memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan gadis itu. "Gue disini, bukan di lantai!" tukas Raga.
Dengan hati-hati Nala mendongak, keempat manik mata itu saling beradu pandang. Sepersekian detik tangan Raga terangkat mengacak puncak kepala Nala hingga surainya sedikit berantakan. "Raga kebiasaan, deh!" sungut Nala.
"Soalnya gemes sih, lo kayak anak kucing takut gak di kasih makan sama majikannya." Warna wajah Raga sudah berubah menjadi netral kembali. Entah apa penyebab suasana hati cowok itu seketika berbeda dari sebelumnya.
Tangan Raga bergerak menggenggam sebelah tangan Nala, lalu keduanya melangkah seiringan dengan jari-jari yang saling bertaut. Nala hanya bisa pasrah, mengikuti tuntunan Raga yang ambigu. "Gue emang nggak suka lo deket sama cowok lain, Nal. Tapi, gue juga nggak bisa egois untuk buat lo berhenti mengejar mimpi lo," sambung Raga, tatapannya lurus dengan sorot yang tulus.
"Gue siap menghadapi konsekuensi dari segala rasa, salah satunya cemburu. Dan gue akan terus menghadirkan rasa itu, karena jika sudah tidak ada berarti rasa peduli juga sudah usai. Kalau gue cemburu, lo memaklumi kan, Nal?" tanya Raga ditepi kalimat panjangnya. Masih dengan pandangan yang sama, tanpa menatap lawan bicaranya.
"Why not, Raga? Rasa cemburu, khawatir, perhatian, peduli, rindu, sayang, dan rasa-rasa lainnya yang sulit dideskripsikan, bukankah hal tersebut adalah pelengkap dari jatuh cinta?" balas Nala yang mendapat anggukan penuh dari Raga.
"Semangat olimpiadenya, Ibu Fisika," ujar Raga lembut. Selembut sutera, Nala sempat bergeming mendengar itu. Rasanya Nala sudah kehabisan cara untuk mewujudkan syukur karena karunia Tuhan yang begitu sempurna.
***
Kurang dari tiga puluh lima menit, tanggal 5 mei tiba. Tanggal dimana seorang bayi perempuan hadir ditengah-tengah keluarga yang tegang. Bayi mungil yang sejak dalam kandungan ingin dilenyapkan, untung saja sang ibu adalah wanita hebat yang bersusah payah menutup telinga karena mendengar kalimat-kalimat menghakimi yang bisa merusak mental. Tujuh belas tahun berlalu, bayi itu kini beranjak menjadi gadis cantik bak putri istana. Nalaka Cempaka Bumi dengan senyuman bahagia menghiasi semestanya.
"Nal, sedikit lagi hari brojol lo, kok gue yang gak sabar sih," seloroh Dara histeris.
Rutinitas anak Natural Killer memang begini, jika ada salah satu dari mereka yang ulang tahun maka semua akan mempersiapkan diri untuk menyambutnya bersama-sama. Menginap disatu tempat dengan dekorasi sederhana.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGNALA
Teen Fiction[Jangan lupa follow sebelum membaca] Ini tentang Dia Raga Semesta. Cowok dengan julukan kulkas berjalan yang memiliki pahatan wajah hampir sempurna. Juga tentang Nalaka Cempaka Bumi, yang jatuh cinta terlalu cepat pada Raga. Nala pernah berharap jik...