[36] Mari Bahagia Bersama

8.1K 740 193
                                    

"Jatuh cinta pada orang yang sama berulang kali, itu menyenangkan. Sangat menyenangkan." – Raga.

Titik fokus mata Raga jatuh pada Raya yang bergerak perlahan untuk menggenggam kembali pistol yang baru saja dia jatuhkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Titik fokus mata Raga jatuh pada Raya yang bergerak perlahan untuk menggenggam kembali pistol yang baru saja dia jatuhkan. Ketika Raya mengangkat pistol itu dan mengarahkannya tepat pada Nala, sontak Raga terbelalak. Tanpa pikiran panjang, cowok itu segera berpindah kemudian berdiri dibelakang Nala hingga sesuatu menusuk punggungnya. Raga tersenyum, gadisnya baik-baik saja. Sepersekian detik tubuh Raga tumbang bersamaan dengan teriakan Nala yang nyaring.

DOR!

"RAGAAAAA!" teriak Nala histeris. Dia langsung memeluk Raga, namun cowok itu sudah tak sadar.

Nala menggeleng cepat, dia menepis baik-baik tutur batinnya yang mengatakan hal-hal buruk. "Nggak, Rag! Jangan tutup mata lo, Raga!" ujar Nala sembari menepuk pipi Raga berkali-kali. "Rag, sadar Ragaaaa!" Nala berteriak, tangis harunya tadi berubah menjadi tangis yang tragis.

Pengawal Johandi langsung membopong Raga yang kesadarannya semakin menurun. Sedangkan, Johandi dan Dian merangkul anaknya yang menangis secara brutal. "Raga, Pa?" adu Nala yang tangisnya tak terkendali.

Sementara itu, Raya di tangkap dan diamankan oleh pengawal Johandi yang lain. Setelah melakukan aksi kejahatannya, wanita itu tak pernah berhenti tertawa, tak tahu apa penyebabnya. "HAHAHA, PEMUDA BODOH SEHARUSNYA DIA TIDAK PERLU MELINDUNGI NALA," teriaknya ketika Johandi dan rombongannya semakin menjauh.

Sampai di rumah sakit Nala masih saja terus menangis, memandangi Raga yang berbaring di brankar hingga tiba didepan ruangan yang membuat Nala harus berhenti karena dokter akan mengambil tindakan. Nala duduk di kursi tunggu dengan tatapan kosong, di ikuti Johandi dan Dian.

"Raga ditangani sama dokter terbaik di rumah sakit ini, sayang. Kamu tidak perlu khawatir!" tukas Johandi menenangkan putrinya.

"Papa, kenapa Tuhan ngelakuin semua ini sama Nala?" tanya Nala masih membiarkan air matanya mengalir dengan tenang.

Dian yang mendengar itu hanya bisa bergeming. Putrinya selama ini penuh dengan penderitaan, tapi dia tak menjalankan perannya sebagai seorang ibu. Malu rasanya menatap mata indah putrinya yang selalu memancarkan kekuatan. Dunia telah membentuk Nala menjadi sosok yang kokoh.

"Jangan salahkan Tuhan, sayang! Salahkan Papa saja," timpal Johandi.

Mata yang tadi menatap lurus ke depan kemudian beralih menatap sosok yang sangat amat dia rindukan bertahun-tahun. "Papa aku rindu," lirih Nala.

Suara itu memancing Johandi untuk mendekap kembali putrinya. Bohong jika dia tidak merasakan hal yang sama. Bertahun-tahun dia menahan agar tidak mendekati Nala, ternyata caranya melindungi salah. Dia terlalu takut kehilangan sehingga menjadikannya pengecut. Bahkan untuk disebut sebagai seorang Papa tidak pantas untuknya.

"Maafin Papa sayang, maaf maaf maaf," ujar Johandi, ternyata air matanya juga ikut menetes.

Pelukan keduanya terurai, kini giliran Dian merangkul putrinya, sebelum membawa Nala dalam pelukannya, Dian memegang kedua pipi Nala. Mengusap lembut menyalurkan semua kasih sayang seorang ibu. "Mama juga minta maaf," pinta Dian, matanya sembab karena tangis.

RAGNALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang