25

1.9K 53 0
                                    

Tetap saja, takdir-Nya harus kita jalani
Entah penuh dengan goresan luka.
Atau penuh cinta dan tawa

El-Zarah

••••
Ara memandang jalan dengan tatapan kosong. Ingatan nya masih berputar dengan permintaan ibu Dinar, sahabatnya. Entah sudah berapa lama Ara duduk di pinggir jalan.

Bahkan suaminya pun masih menghubunginya
Apakah boleh Ara berharap?. Agar El melupakan cintanya pada masa lalunya.
Apakah boleh Ara meminta El untuk tetap berpihak disisinya.

Menghapus air matanya Ara melangkah pergi, hal yang ingin Ara lakukan adalah ia butuh sendiri. Langkahnya membawa Ara pada makam umanya. Tepat ke 2 bulan umanya pergi meninggalkan Ara, dan selama 2 bulan juga Ara harus bersusah payah menata hatinya.

"Umma assalamualaikum. Ara kembali lagi, padahal baru kemarin kan pas lulusan Ara kesini." Monolog Ara

"Umma kenapa rasanya sakit? Apa perasaan ini yang Uma rasakan? Ketika mengetahui Abi...Abi menikah lagi? Atau beginilah rasanya mencintai sendirian."

Ara menangis dimakan umanya, rasanya begitu melelahkan. "Bolehkah umma Ara mengakhiri pernikahan ini. Apakah Ara sanggup menyandang status janda diusia muda." Pikiran Ara semakin kalut. Tangisnya semakin menjadi-jadi, dadanya naik turun. Begitu menyesakkan. Kalimat istighfar mulai terdengar. Tangannya merogoh obat di tasnya lalu meminumnya. "Ara sakit Uma, umma liat Ara baru saja minum obat penenang ini......umma Ara begitu takut." Ara meletakkan kepalanya pada gundukan tanah itu. Matanya mulai terlelap, dengan tangan yang masih menggenggam obat penenang itu.

Biarlah hanya tuhan yang tahu akan jadi seperti apa rumah tangga keduanya. Bukankah peliknya takdir harus tetap dijalani. Meski kadang harus benar-benar menguras air mata?. Ara terbangun dari tidurnya tatkala penjaga kuburan membangunkan Ara. "Neng sudah duhur atuh bentar lagi waktu asar neng gak solat." Ara terbangun dengan kondisi pipi dan baju yang sedikit kotor "terimakasih mang."

Ara bangun dan mencari musolla terdekat. Ara mengambil hpnya dan benar sudah hampir asar tapi satu pesan pun tak ada dari suaminya.
Ara melanjutkan perjalanan nya, dan menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah.

Selesai dengan kewajibannya Ara mencari taksi dan pulang. Dahi Ara berkerut pasalnya keadaan apartemen sangat berantakan. "Assalamualaikum mas." Tidak ada sautan Ara semakin bingung. Ara lantas membereskan kekacauan itu. Mulai dari vas yang pecah hingga figura pernikahan mereka.

Mencoba untuk tetap tenang Ara membereskan semuanya, menatap jam setengah tiga dan Ara melanjutkan langkahnya ke arah dapur namun matanya memanas, bahkan makanan yang dimasak tadi pagi belom tersentuh. Bahkan posisinya pun tak berubah.

Apa ini, cobaan apa lagi.
Ketika mendengar suara pintu Ara membalikkan badannya. El mendekati nya lalu memeluknya Ara tak menolak itu, ia mengusap punggung El. Tidak mengeluarkan sepatah katapun. Hingga El melepaskan pelukannya barulah Ara membuka mulutnya "mas mau dibikinin apa? Teh apa kopi?" Sebisa mungkin Ara tersenyum. Walaupun banyak pertanyaan yang bersarang dikepalanya.

"Tidak ada, maafkan saya." El kembali memeluk Ara. "Maafkan saya yang menyakitimu hari ini."

"Mas ngapain minta maaf, ada masalah ya dikantor?" Ara hanya mengalihkannya tidak berniat membahas itu. Hatinya sakit mendengar kata maaf dari El.

"Bolehkah saya memintanya Ara, hak saya."

Ara mematung, apa ini kenapa El malah meminta haknya? Disaat semua yang telah terjadi. "Mas kenapa?" Ara mencoba tenang. Meski tubuhnya malah menolak sentuhan El.

El-Zarah  [Completed ✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang