34

1.8K 46 0
                                    

ini bukan takdir, melainkan buah dari benih yang ditanam. Bukankah sebelum bertindak manusia seharusnya berfikir terlebih dahulu, akan akibat nya.
Analoginya seorang maling, apakah iya takdirnya menjadi seorang maling? Padahal dalam mencari rejeki ada jalan yang lebih halal, jika seseorang itu mampu berfikir bukanlah pangkat maling itu tidak lagi tersemat?.

••••
Namun, inilah manusia. Allah ciptakan dengan berbagai nafsunya. Allah ciptakan nafsu untuk menjadi musuhnya, segaligus sebagai teman hidupnya.

•kutipan El-Zarah

••••••
Tak terasa sudah 1 jam lebih Ara dan El berada di makan umanya. "Ayo pulang Ara, kasian bayi kita dia pasti lapar" bujuk El. Ara yang ingat pun mengusap perut ratanya "aku lupa mas, betapa buruk nya aku ini."
"Hey, jangan diinget lagi. Inget kan pesan Ali bin Abi Thalib. Bahwa kita perlu menjauhi, bahkan mengindari orang yang membuat kenyamanan kita terganggu. Kita boleh mengabaikan perkataan atau perlakuan orang yang membuat hati kita sakit." Ucap El lagi
Ara hanya mengangguk lantas membenarkan cadarnya.
Keduanya pun melangkah menjauhi makam Uma Fahira.
Saat berada di dalam mobil, tiba-tiba telepon El bergetar.
"Angkat aja mas." Jawab Ara
El mengambil handphone nya, dilayar tertera nama uminya.
"Assalamualaikum um"
"Waalaikumussalam mas, kamu gak papa kan. Umi liat berita hari ini beritanya kamu semua mas. Ara juga gak papa kan." Sengaja El lospeker sehingga Ara juga dapat mendengar nya.
"Alhamdulillah gak papa umi."
"Syukurlah, umi takut kalian kenapa-kenapa mas."

Setelah perbincangan singkat antara anak dan ibu itu berakhir Ara pun berbicara. "Apa sekarang kita kerumah Dinar dan meminta maaf?" Tanya Ara
"Kalau kamu mau kenapa tidak?"
Akhirnya mobil El pun memutar Arah ke rumah Dinar.
Tak banyak perbincangan, Ara yang sibuk dengan susunan kosakata di otaknya dan El yang sibuk nyetir.
Tak terasa mobil El sudah ada di teras kontrakan Dinar. Membuka pintu mobil dan mengandeng Ara
"Jangan takut, niat kita kesini untuk bersilaturahmi. Menyatukan persahabatan kalian kembali."
Ara mengangguk. Ketukan pertama tak mendapat sautan hingga ketukan ke dua. Pintu itu pun mulai terbuka.
"Assalamualaikum Tante, maaf sebelumnya. Ara dan suami.."
"Kalian lebih baik pergi, Tante gak mau ada keributan di sini." Ara belum menyelesaikan omongannya, namun suara tegas milik ibu Dinar sudah mengintruksi.
Yang bisa Ara lakukan hanya menunduk.
"Siapa Bu?" Tepat selah itu Ara mendongak. Mata Ara dan Dinar bertemu. "Cihhh Lo ternyata, duduk." Meskipun begitu Dinar tetep menerima kedatangan El dan Ara

"Nak." Tante Eva menggenggam tangan Dinar
"Gak papa Bu, biar Dinar urusi dulu ya. Percaya sama Dinar." Ucap Dinar seraya melepaskan genggaman tangan ibunya. Sementara Tante Eva memutuskan untuk memberi ruang waktu untuk ketiganya.
"Dinar ada yang perlu ku luruskan?" Ucap Ara
"Apa?, Bukannya udah jelas." Ucap Dinar
"Aku.."
"Lo perebut Ra, Lo mau minta maaf kesini kan? Terus Lo bakal bilang, Din kalau kau tahu laki-laki yang kamu cintai adalah el maka aku tidak mungkin menerima perjodohan ini." Bener kan

Benar tebakan Dinar benar sekali. Ara mengangguk dan tersenyum dibalik cadarnya. "Itu benar Din, tapi ini adalah takdir kita. Kita sama-sama mencintai orang yang sama." Percayalah hati Ara kembali sakit ketika mengucapkan itu
"Bukan Ra, ini bukan takdir. Kalau Lo lebih awal jujur ke gue. Ini tidak akan terjadi. Takdir gue gak akan sesakit ini. Lo terlalu naif Ra, Lo terlalu yakin. Bisa ngilangin perasan gue untuk suami Lo. Nyatanya cinta itu semakin besar." Ucap Dinar. Kini pandangan nya teralih pada pria satu-satunya di ruangan ini.
"Dan untuk kamu bang zafur. Cinta ini masih ada, tapi aku bisa apa? Ketika hatimu sudah tertaut pada sahabat ku." Air mata Dinar luruh kembali, tapi ia buru-buru menghapusnya.
"Saya tahu, ini murni kesalahan kami. Seharusnya kami memberitahumu. Kami kesini ingin meminta maaf kepadamu. Mari kita berteman sewajarnya Dinar. Saya yakin kamu akan mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari pada saya, dan perlu kamu tarik ulang kata-kata mu. Bahwa Ara tidak sekalipun merebut saya darimu, karena sejatinya kita tidak pernah ada hubungan." El yang sejak tadi diam pun kini membuka suaranya.
"Liat Ra, suami Lo romantis juga hahahahha. Bagaimana kalau kita berbagi suami?" Ara yang menunduk kini pun mendongakkan kepalanya. Hatinya begitu sakit mendengar perkataan Dinar.
"Tidak Din, aku bukan wanita yang begitu. Aku tidak akan pernah ikhlas membagi cinta dari suamiku." Ucap Ara
Dinar menyeringai, lalu berdiri dari duduknya.
"Ra, Lo gak perlu khawatir. Gua udah gak minat buat berada di tengah-tengah rumah tangga kalian. Tapi sekali lagi, jangan libatin gue." Setelah mengucapkan itu Dinar berlalu.
"Tunggu." Ara menghentikan langkah Dinar
"Boleh kita pelukan. Aku kangen masa-masa kita dulu. Aku tahu kedepannya akan sulit untuk kita bertemu. Aku tahu kita tidak akan sama lagi Dinar."
Dinar menyeringai dan membalikkan badannya.
"Kamu salah Ra, kita akan tetap bertemu. Juga untuk bang zafur, mungkin kedepannya kita akan menjadi partner kerja. Kamu tentu tidak lupa kan Ra, siapa bokap gue." Ara mematung cerita Dinar adalah cerita yang cukup klis, terlahir dari hubungan haram antara art dan majikannya. Lalu sang tuan menyuruh art itu membunuh anak dikandung art tersebut. Namun art yang tidak lain adalah ibu Dinar memilih untuk mempertahankan janinnya dan pergi. Tapi Ara pernah ingat salah satu cerita Dinar.
Ayahnya kehilangan istri sah dan bersama anak laki-laki.
Sehingga sudah tentu ayah Dinar akan mengangkat Dinar menjadi anak sahnya dan diakuinya.
Mendapati Ara yang berekpresi seperti itu Dinar semakin melebarkan senyumnya.
El yang tidak mengerti pun akhirnya bersuara
"Silakan, mari kita berperan sebagai mana seharusnya Dinar. Kamu mau kerja sama saya juga, dan tolong hentikan senyuman itu. Karena saya rasa, tidak sepantasnya senyum itu kau tunjukkan pada sahabat mu sendiri."

El-Zarah  [Completed ✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang