38

1.2K 37 0
                                    

Takdir itu milik Tuhan.
Kita hanya mengajukan proposal tentang hidup kita.
Tapi tetap saja yang memperbaiki hanya Sang khalik
Sang Penguasa alam.

Kutipan el-zarah

•••
"Mas gimana ini?, Apa yang harus kita lakukan. Ara mas.", Tangisan Ayu masih belum usai.
"Iya sabar ya, kita tunggu El. Bagaimana pun dia punya hak untuk mengambil tindakan untuk Ara." Ujar syafik.
Nafas Ayu memburu. Ia kembali mengecek handphone. Ia tertawa sumbang.
"Dasar laki-laki bajingan, berapa kali lagi aku harus menghubungi nya. Tapi lihat mas, liat tak sedikit ia mengangkat nya." Emosi ayu mulai tak terkendali.
"Jika saja El ada disini aku yang akan mengatakan padanya, untuk tidak menyakiti Ara hiksss." Ucap ayu pelan.
Entahlah hanya tuhan sekarang yang bisa ia andalkan.
"Hikssss Ara dosa apa mas, sampai ia harus menjalani takdir yang menyakitkan seperti ini. Aku.... Aku masih ingat rintihannya. Dia tidak ingin anaknya terluka. Tapi... hiksss dokter...hiksss bilang seperti itu.." Ayu tak kuasa lagi Manahan jeritan tangisnya. Beberapa kali tangannya memukul dada nya. Pun syafik ikut menangis, menghalangi tangan istrinya memukul dadanya sendiri.
"Maaf pak, Bu. Saya tunggu sampai 24 jam kedepan. Saya harap sudah ada keputusan yang diambil. Saya permisi." Ujar dokter.
Ayu mendongak lalu berdiri. "Dokter saya bisa menemui Ara kan dokter."
"Boleh Bu, tapi saya mohon jangan diajak bicara dulu."
Ayu pun segera masuk ke ruangan Ara.
"Ara... Kamu harus kuat ya." Ucap ayu lirih seteleh melihat Ara yang kini termenung.
"Mbak, mungkin ini sudah suratan Ara." Jawab Ara pelan, sangat pelan. Tapi bagi Ayu kini hanya pilu yang tersisah.
"Hikssssssssssss, aku ibu yang buruk."
"Aku gak pantas jadi seorang ibu, makanya Allah narik lagi anakku mbak."
"Aku tidak bisa menjaga amanah."
Ucap Ara lagi
Ayu menggelengkan kepalanya, ia memeluk Ara.
"Hiksss jangan ngomong begitu. Pasti ada cara lain okey hiksss." Ucap Ayu
Tangis dua wanita itu kini menghiasi.
"Apa yang harus aku lakukan mbak, ini sakit."
Ayu tak mampu berkata lagi. Hanya pelukan yang bisa ia berikan sekarang.
"Andaikan tuhan berbaik hati sekali lagi. Aku tak ingin kehilangannya mbak." Tawa kecil terdengar di akhir kalimatnya.
Suara pintu terbuka menampilkan syafik, Ara segera berpaling pun Ayu segera menjadi temeng untuk Ara.
"Maaf aku lupa ketuk pintu" sesal Syafik
"Gak papa kok Ara aman kan." Ucap Ayu.
"Gimana El? Sudah terjawab."
Syafik pun menggelengkan kepalanya. Ara kembali menangis kenapa disaat seperti ini suaminya tidak bisa di sisinya. "Aku akan mempertahankan anak ini mbak." Suara Ara kembali menggema. "Dek, tapi kata dokter kamu akan.." Ayu tak sanggup meneruskan kalimatnya.
"Aku gak peduli, pokoknya anak ini harus lahir. Dia harus melihat dunia." Ara mengusap perutnya. Percayalah sakit diperutnya tidak membuat semangat nya mundur.
"Kamu akan sakit terus dek." Lirih Ayu
"Maka itu lebih baik, dan jika tuhan tidak mengizinkan aku merawatnya. Setidaknya aku telah melahirkan nya." Lirih Ara
Ayu kembali menangis dibalik cadarnya.
"Mas, aku mohon susul El. Kasih tahu dia." Ayu menatap suaminya penuh harap.
Syafik pun hanya mengangguk.
Ia melangkah ke istrinya  "aku akan berangkat, kamu hati-hati disini." Seteleh mengucapkan itu syafik mencium kening istrinya.
"Kamu yang sabar ya dek, mas syafik udah berangkat nyusul El." Ucap ayu menguatkan Ara.
Ara hanya mampu meringis menahan sakit di perutnya.
Sakitnya tidak main-main tapi Ara juga tidak mau kehilangan buah hatinya.
Berkali-kali Solawat terlantun dari mulutnya.
Ayu pun tak henti-hentinya Mendokan Ara.
Bahkan kini Ayu solat di ruangan Ara.
Tanpa mengenakan mukena beralaskan kain tipis ia memulai solat dua raka'at.
Ara menangis. Ayu begitu mengkhawatirkan nya. Padahal yang Ara harapkan saat ini bukan Ayu. Melainkan Dinar sahabatnya. Tapi Allah berkata lain, ternyata kehilangan Dinar Allah datangkan teman yang tulus untuknya.
Ara sedih tapi juga bahagia. Ara melihat Ayu yang tengah bermunajat pada Allah. Tampak sekali bahu itu bergetar, namun detik berikutnya teredam.
Meski begitu Ara yakin hari ini Ayu berusaha untuk tidak menangis didepannya. "ya Robb, jangan ambil temanku yang satu ini. Jangan pisahkan kami." Doa tulus Ara untuk Ayu.
Lagi setelah solat Ara semakin terharu. Seharusnya sekarang yang mengisi posisi Ayu ada suaminya El. Tapi sekarang posisi itu digantikan oleh Ayu.
Ayu membaca Al-Qur'an di samping Ara.
Berkali-kali suaranya hilang karena isakannya.
Tapi lagi-lagi Ayu berhasil menampilkan senyuman tulusnya.
Kini Ara sadar bahwa inilah manusia yang kapan saja bisa saja menorehkan luka. Entah itu sahabatnya atau suaminya sekalipun. Inilah manusia yang tidak akan selama ada di sisi kita setiap saat.
Inilah takdir tuhan, lagi-lagi Allah mengahdirkan orang yang berbeda dalam hidupnya. Orang yang tidak disangka-sangka akan setulus ini padanya.
Setelah selesai membaca Alquran ayu menatap Ara yang kini telah memejamkan matanya. Namun tangannya masih memegang perutnya. Dapat ia rasakan bahwa Ara tidak benar-benar terlelap.

El-Zarah  [Completed ✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang