49

2.5K 39 0
                                    

Bagian terindah dari cerita
Adalah bagaimana jalan cerita nya
Bukan pada awal ataupun ending cerita.
Kenapa?, karena seni perasaan tertuang di dalam prosesnya.

••••

"Mas, mas udah siapin nama untuk putra kita?" Tanya Ara di sela kegiatannya. Yakni menyusui putra mereka.
Padahal matahari belum sepenuhnya menampakkan dirinya.
Dari ufuk timur, sinar itu masih malu-malu untuk menampakkan dirinya.

"Mas mau tanya sama kiyai, dan juga guru ngaji mas. Karena memberi nama itu kan sebuh doa. Jadi mas pengen yang menamai putra kita ya guru ngaji mas." Ujar El

Ara pun mengangguk, baginya tidak masalah nama itu berasal dari mana. Asal bagus dan pastinya memiliki arti yang bagus juga.

Fokus Ara kini beralih pada putranya.
Hari ini ia sudah di perbolehkan untuk pulang, maka dari itu pagi ini ia awali dengan menyusi putranya. Agar tidak repot-repot lagi menyusui di jalan. Pikiranya.

Umi halima datang membawa semangkuk bubur.
"Ini makanlah. Biar umi yang gendong cucu umi."

Ara pun menyerah kan putranya itu, ia makan sesuai perintah mertuanya. Sesekali pandangannya teralih pada El dan Umi Halimah.

usai mengabiskan semangkuk buburnya. Ara berinisiatif untuk pergi ke kamar mandi. Guna mengganti pakaian.
Usai mengganti pakaian Ara segera memasang cadarnya. Kemudian merapikan khimarnya.

"Gimana udah selesai kan." Tanya umi Halimah
"Sudah umi." Ucap Ara. Ia kemudian mengambil alih putranya itu.

Akhirnya mereka bertiga pun meninggal rumah sakit. di perjalanan Ara tak henti-henti nya memandangi wajah putranya. Ia berkali-kali menahan tangisannya. Dibalik cadarnya ia mulai meneteskan air matanya, umi Halimah yang menyadari hal itu pun memeluk menantunya itu.

Di sepanjang jalan umi Halimah terus memberi tahu arahan-arahan untuk mendidik anak, atau amalan-amalan sekedar menyusui anak.
Ara pun mendengarkan dengan penuh hikmat. Karena baginya, kesempatan yang Allah berikan padanya adalah bentuk kuasa-Nya. Untuk itu dirinya harus bersungguh-sungguh dalam mendidik putranya dari saat ini.

Mobil El pun sampai di sebuah rumah yang Ara tidak tahu punya siapa. Namun, dirinya tetap ikut suaminya itu tentu saja juga dengan Umi Halimah yang masih setia bersama nya.

"Afwan umi, ini rumah siapa ya?" Tanya Ara penasaran.

"Punya El nak, buat kamu dan anak kamu. Ini akan menjadi rumah kalian. Maaf ya rumahnya cuman ada satu lantai." Ucap Umi Halimah

"Ini besar banget umi, terlalu besar untuk kami tinggali hanya berdua saja disini, umi disini kan?" Tanya Ara sembari matanya menatap sekelilingnya.

"Rumah ini sebenarnya rumah singgah umi yang kedua kalau ke Jakarta. Berhubung kamu sudah melahirkan ya umi rasa rumah ini buat kalian saja. Lagi pula umi mungkin harus kembali ke pondok." Ucap Umi Halimah lagi.

"Untuk apa umi, umi gak akan ke Jakarta lagi. Terus kami gimana.." cerca Ara

Mereka bertiga sudah ada di dalam ruang tamu, umi Halimah memilih duduk. Lalu menepuk pelan sofa di sampingnya. Ara duduk di tempat yang di tunjuk mertuanya itu.

"Pelan-pelan nduk, Umi kan harus liat kondisi pesantren. Kakak iparmu mungkin kewalahan."

Sedangkan Ara hanya tersenyum kikuk, putranya telah di ambil alih oleh penjaga.
Ara baru menyadari bahwa banyak orang-orang di sekitarnya.

"Mereka akan mengabdi di sini selama setahun. Mereka santri umi." Ucap Umi Halimah ketika melihat menantunya itu seperti kebingungan.
Sementara Ara hanya mengangguk.
"Ya sudah umi mau ke luar dulu, sekalian mau beli beberapa barang untuk nanti mau ngadain acara syukuran disini." Pamit Umi Halimah

El-Zarah  [Completed ✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang