31

1.7K 54 0
                                    

Terkadang rencana kita tidak bisa sejalan
dengan takdir sang Arsy, untuk itu mengapa setiap berdoa selalu diawali dengan kata 'semoga'.

-kutipan El-Zarah

••••

Ara sudah menyelesaikan shalatnya, salam dan ketukan di pintu membuat Ara mengalihkan pandangannya. "Waalaikumussalam umi."

"Nduk, gimana keadannya sudah baikan?"

"Sudah mi, Afwan ya Ara ngerepotin umi."

Umi Halima lantas me naru barang di sofa "gak papa, umi paham betul kondisinya Ara seperti apa. Umi dulu sebelum nikah pas kuliah ngambil jurusan psikologi Lo. Mau curhat sama umi? Barang kali dengan bercerita beban Ara sedikit berkurang." Umi Halima menuangkan air lalu memberikan gelas yang berisi air itu kepada Ara.

Ara menerima dan meminumnya. Netranya memandang lurus ke depan "kenapa harus ada perjodohan jika manusia itu tidak saling mencintai?" Setelah keheningan beberapa saat terjadi suara Ara terdengar begitu lirih.
"dan mengapa takdir selalu tidak sejalan?" Kembali terlontar pertanyaan dari bibir mungilnya.

"Mengapa harus menghadirkan orang dimasa lalu untuk kehidupan dimasa sekarang? Apakah takdir akan terus berulang?" Pertanyaan terakhir sebelum air matanya menetes.

Umi Halima mengelus kepala Ara "jangan berbicara tentang Tuhan, karena kita tidak akan pernah sampai. Akal kita tidak akan pernah menemukan jawaban yang puas akan hal itu. Namun perlu Ara ketahui, Segalanya Allah atur. Tentang dua manusia yang bersatu atas naungan pernikahan tapi tidak berdasarkan cinta kadang itu lebih baik, barang kali Allah menginginkan salah satunya jika tidak mendapat cinta manusia justru mendapat cinta dari pencipta-nya yaitu Tuhannya. Barangkali dengan terjadinya nikah tanpa cinta itu Allah ciptakan sosok perempuan yang kuat. Bukankah imbalannya berupa surga, apa lagi perempuan tersebut tetap bertahan sampai akhir hayatnya, dan melahirkan seorang malaikat titipan Tuhan-nya siapa yang tidak jatuh hati terhadap perempuan seperti itu?, Jika cinta manusia tidak ia dapatkan barangkali cinta Tuhan nya sudah ia rengkuh. Jika tidak dengan perempuan nya, barangkali laki-lakinya nantinya akan semakin kuat dalam mengemban kewajiban dan amanahnya, lalu menjadi pemimpin yang lebih baik untuk hidup selanjutnya."

Ara semakin terisak apakah umanya sudah bahagia sekarang? Apakah ini rencana Allah untuk memuliakan umanya. Jika iya maka dirinya akan bahagia. "Sekarang tugas kita hanya berprasangka baik kepada Allah, bagaimanapun keadaan kita. Sesulit apapun jalan hidup kita, karena hanya dengan cara itu Allah melihat bahwa kita adalah hamba yang Ridha atas ketetapannya, dan ketika Ridha itu didapat bukan cuman syurga yang akan kita dapatkan, tapi juga semuanya akan kita dapatkan insya Allah".

Ara mengangguk lantas tersenyum. "Umi kesini naik apa?"

"Biasa supir, ini perlengkapan Ara. Suamimu mana nduk?" Tanya umi Halima setelah menyadari tidak kehadiran anak keduanya itu. "Mas El solat Umi"

Tepat setelah Ara menjawab El kembali dari musolla
"Assalamualaikum, loh umi sudah di sini sejak kapan?"
"Baru saja nduk, bagaimana keadaan istrimu. Kata dokternya baik-baik saja kan."

Ara hanya menundukkan kepala, kenapa hidupnya selalu merepotkan orang-orang disekitarnya. Seandainya penyakitnya tidak kambuh mungkin umi Halima tidak akan sekhawatir itu.

"Kata dokternya baik-baik saja kok umi, cuman kemarin pas kambuh aja."

Ara mendongak, matanya menatap El. Kenapa suaminya itu begitu bertanggung jawab, bahkan mau menikahi wanita yang sebelumnya belum pernah berpapasan bahkan tidak tahu akan rupanya. Umanya tidak salah memilih pasangan untuk dirinya. Mengingat umanya Ara kembali bersedih. Kenapa umanya harus menyembunyikan luka selama bertahun-tahun demi dirinya.

El-Zarah  [Completed ✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang