~Sesederhana apapun jika itu menyangkut kamu maka tetap istimewa~
♥💉🩺Setelah izin beberapa hari, Khanza dan Huda kembali ke rutinitasnya. Beberapa hari yang lalu, Dhuri dan Huda mengumumkan secara resmi kepada warga kampus tentang status Khanza dan Huda agar tidak menimbulkan fitnah.
"Keluar!" Kata pertama yang Khanza dengar ketika membuka pintu ruangan A2.
"Tapi, Pak, saya belum telat banget. Bahkan belum ada semenit dari jam yang disepakati." Senyum Khanza luntur ketika melihat tatapan dingin Huda.
"Jangankan semenit, satu detik saja kamu telat, tetap saya keluarkan. Kamu telat dua puluh tujuh detik, apakah itu tak berarti untuk nyawa manusia? Kamu kira kampus ini milik keluargamu?"
"Tapi, Mas ...."
"Tolong profesional! Bedakan mana kampus dan rumah!"
Khanza benar-benar ingin menghilang rasanya ketika mendengar ucapan pedas sang dosen alias suami sendiri.
"Untuk yang lainnya, saya tidak mau kejadian ini terulang kembali. Di kontrak perkuliahan juga sudah saya jelaskan. Baik, kembali lagi ke materi!"
Setelah itu Khanza menutup kembali pintu dengan tak santai. Ia menyandarkan diri di tembok sambil menatap sedih ujung sepatunya.
Hari ini sebenarnya kuis terakhir di kelas Huda. Semalam Khanza mati-matian mempelajari istilah tulang, belum lagi penyakitnya.
"Jangankan ikut kuis, baru buka pintu aja langsung diusir. Menyedihkan sekali," gumam Khanza yang hampir menangis.
"Apanya yang menyedihkan?"
"Astaga, Ya Allah. Papa? Ngapain di sini?" Khanza mencium punggung tangan sang mertua.
"Papa dari gedung rektorat ambil berkas kampus, terus lihat kamu dis ini. Kenapa enggak masuk?"
"Dikeluarin sama dosen, Pa."
"Siapa dosennya?" tanya Dhuri dengan mengintip dosen yang mengajar melalui jendela.
"Dokter Huda. Padahal hari ini kuis terakhir."
"Kamu ke kampus bareng dia?"
"Enggak, Pa. Mas Huda semalam piket. Jadi, ke kampus langsung dari rumah sakit."
"Oh, gitu. Mau ikut Papa ke rumah, nggak? Mama kamu pasti senang."
Mendengar itu, Khanza merasa senang. Ia pun berjalan mengikuti papa mertuanya menuju lift.
"Kamu kenapa pincang?"
"Jatuh tadi, Pa, hehe. Khanza kurang hati-hati, sih"
Dhuri meneliti penampilan Khanza. "Terus kenapa ini berdarah?" tanyanya lagi yang melihat bercak darah di lengan bagian dalam sang menantu.
Khanza bingung harus menjawab apa. Ia menunduk dengan mengikuti papa mertuanya ke arah parkiran.
Sesampainya di mobil, Khanza menatap Dhuri serius. "Khanza mohon, Pa, jangan kasih tahu Mas Huda. Kemarin waktu kena pecahan kaca sedikit aja dia udah khawatir, apalagi yang sekarang."
"Papa enggak bakal kasih tahu kalau kamu mau jujur."
"Tadi Khanza keserempet pas jalan ke kampus. Niatnya mau jalan aja dari rumah ke perempatan buat cari taksi di sana. Belum sampai perempatan ada anak SMP ramai, kebut-kebutan. Karena kurang keseimbangan, salah satu dari mereka hampir nambrak tukang sayur, tapi akhirnya Khanza yang kena, tapi Khanza enggak papa, kok, Pa."
"Kamu ke lantai atas lewat lift atau tangga?"
"Lewat tangga, Pa. Tiba-tiba kaki Khanza nyeri, makanya ada bercak darah di sepatu. Kalau masalah yang di baju ini, sih, luka di lengan. Khanza tadi antar adik yang nyerempet tadi ke rumah sakit dulu, makanya telat."
Dhuri menatap Khanza tak percaya. Ia juga merasa kesal dengan putranya itu. "Ya sudah, Nak, naikin lengan bajunya dulu, biar Papa obati. Atau kita ke rumah sakit aja? Papa harus ngomong apa sama ayah kamu nanti? Huda juga asal ngeluarin orang tanpa tahu alasan keterlambatannya," omel Dhuri sambil membersihkan luka Khanza yang sudah mulai mengering.
"Enggak ada yang salah di sini, Pa. Mas Huda juga berusaha profesional. Lagian Khanza juga kurang hati-hati tadi. Papa tenang aja, palingan besok lukanya juga sembuh."
Setelah itu, Dhuri melajukan mobil ke rumahnya dengan kecepatan rata-rata.
"Papa habis rapat tadi. Katanya minggu depan UAS, ya?" tanya Dhuri.
"Iya, Pa. Udah pertemuan keenam belas. Enggak terasa udah mau semester dua aja."
"Kamu semangat belajarnya. Enggak usah dipaksa juga. Minta bantuan sama Huda kalau ada yang sulit atau belum dimengerti. Kalau capek, ya, istirahat aja."
Kedatangan Khanza ke rumah mertuanya membuat Flora heboh sendiri. Bahkan ia sempat marah melihat sang menantu yang terluka. Hampir saja ia melabrak sang pelaku di rumah sakit. Ditambah lagi dengan penjelasan Dhuri yang katanya Huda mengeluarkan Khanza di kelasnya membuat ia kekeh menyuruh Khanza untuk menginap di sana.
"Kamu enggak papa, kan, Sayang?"
"Enggak papa, Ma. Tadi Papa udah bantu Khanza obatin, kok. Lukanya enggak parah."
"Enggak parah gimana, orang sampai pincang gitu!" balas Flora tak santai, "kamu istirahat aja dulu, Mama mau panggil suami kamu ke rumah," lanjutnya.
"Eh, enggak usah, Ma. Mas Huda masih ada kelas hari ini."
"Aish! Anak siapa, sih, dia? Atau ketukar, ya, di rumah sakit waktu Mama melahirkan?"
Khanza terkekeh mendengar itu.
"Kamu istirahat di sofa dulu, ya, Sayang! Mama mau antar Papa dulu ke depan," pamit Flora sambil mengatur posisi Khanza.
Sekarang pukul setengah sepuluh pagi, menandakan kelas Khanza di jam Huda sudah selesai, dan waktunya dilanjut ke kelas Course Biomedik Dasar.
"Udah sarapan, Sayang?" tanya Flora.
"Astaga, Khanza lupa, Ma. Tadi pagi cuman minum susu aja, soalnya buru-buru."
"Ya allah, Za, udah jam setengah sepuluh, lho, ini. Tunggu bentar, Mama ambilkan sarapan dulu."
"Enggak usah, Ma. Nanti Khanza ambil sendiri."
"Kamu nggak perlu sungkan, Za. Anggap aja Mama itu orang tua kandung kamu, mertua itu cuman status. Astaga, Za, itu kakinya makin bengkak, lho. Mama panggil Huda aja."
"Enggak usah, Ma, nanti sembuh sendiri."
"Mama enggak mau tahu. Kamu tunggu di sini." Setelah itu, Flora menelepon Huda untuk segera pulang. Kemudian ia kembali ke ruang keluarga dengan sepiring nasi beserta lauk dan segelas air.
"Enggak sengaja keserempet orang, Mas." cicit Khanza pelan, tak berani melihat tatapan tajam Huda.
Setelah menerima telepon dari Flora, tak sampai lima belas menit Huda sudah sampai rumah. Tanpa diminta Khanza mulai menceritakan kronologi kejadian.
See You Next Part♥
Mohon maaf kalau ada typo.
RezaOhany♥
KAMU SEDANG MEMBACA
FLAMBOYAN
Teen FictionTakdir yang sudah di mulai mustahil untuk menghambatnya, bahkan dengan kekuatan manusia sekalipun itu tak akan bisa. Ia berhembus seperti angin tak bisa dihentikan dan tak pasti arahnya akan kemana. Begitu pula dengan kedua tokoh utama di cerita ini...