~ Ada yang lebih bahaya dari menerka. Membuat kesimpulan dari prasangka dan mulai meyakininya.
💉
❤️"Kamu tahu kalau kamu itu sedang berhadapan dengan nyawa manusia?" tanya Huda yang diangguki oleh Khanza.
"Lantas apa-apaan ini!" Huda melempar asuhan keperawatan yang ditulis oleh Khanza.
"Maaf, Dok," sesal Khanza dengan menunduk, tak berani mengangkat kepalanya.
Huda menatap Khanza tajam. Kali ini masing-masing ketua kelompok dipanggil olehnya untuk menghadap satu per satu sambil menyerahkan dan menjelaskan kinerja kelompoknya selama empat hari di minggu ketiga ini, dan Khanza mendapat undian terakhir untuk jadwal shift siang.
Karena hampir telat, Khanza buru-buru, bahkan lupa untuk memasukan makalahnya ke dalam tas. Ia bahkan dengan santainya masuk ketika dipanggil Huda. Alangkah kagetnya ketika tasnya hanya berisi asuhan keperawatan saja.
"Karena kamu anggap diri kamu dekat dengan saya, makanya kamu mau main-main?"
"Enggak, Dok. Saya benar-benar lupa. Kelompok saya udah ngerjain, kok. Buktinya, askepnya ada. Enggak mungkin kita kerjain askep tanpa makalah," belas Khanza. Ia merasa bersalah, apalagi nilai anggota kelompoknya yang menjadi ancaman.
"Saya enggak mau tahu dan itu derita kamu! Yang saya mau, makalah itu harus ada dalam waktu sepuluh menit lagi."
"Kalau saya ambil sekarang, waktunya enggak bakal cukup, Dok." Kini Khanza benar-benar menangis.
"Lantas kenapa tidak kamu ambil dari tadi!"
"Saya baru sadar waktu masuk ke ruangan ini," jelas Khanza sambil terisak-isak.
"Saya kecewa sama kamu. Hal sekecil ini saja kamu ceroboh, apalagi yang lainya. Lebi parahnya lagi, hanya gara-gara kamu, nilai teman-temanmu yang lain ikut terancam. Dasar ceroboh!" ucap Huda ketus kemudian berlalu meninggalkan Khanza yang semakin terisak.
Khanza langsung saja menelepon Rizky, berniat meminta tolong untuk mengantarkan makalahnya ke rumah sakit.
"Iya, Za?"
"Mas di mana?" tanya Khanza sambil menahan tangisnya. Ia berusaha tenang agar Rizky tak ikut panik.
"Kamu nangis? Kenapa?"
"Khanza boleh minta tolong anterin makalah Khanza ke rumah sakit?"
"Iya-iya, tapi kamu kenapa?"
"Nanti Khanza cerita. Khanza mohon, Mas, cepet anterin makalahnya. Waktu Khanza cuman sepuluh menit aja. Nilai kelompok Khanza terancam, Mas."
"Ya udah. Makalahnya di mana?"
"Di kamar Khanza, sampulnya warna biru, pakai logo sekolah. Makalahnya tentang bahaya sex bebas, Mas," jelas Khanza dengan suara khas orang menangis.
"Kamu yang tenang! Sebentar lagi Mas sampai. Jangan nangis lagi, ya!"
Tanpa salam, panggilan telepon diputuskan oleh Rizky. Khanza masih sedih mendengar omongan Huda. Ia tahu kalau salah, tetapi tak seharusnya Huda berkata demikian. Itu benar-benar membuat Khanza sedih.
Delapan menit sudah berlalu, Rizky belum juga sampai. Khanza menunggu Rizky di parkiran.
Tak lama kemudian, Rizky datang dan langsung memeluk Khanza untuk menenangkan, walaupun ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Hai, kenapa? Stop nangisnya! Mas udah di sini."
Khanza mendongak lalu menatap Rizky.
Pemuda itu menghapus air mata adik sepupunya kemudian memberikan kecupan di kening. "Udah, sana anterin makalahnya! Mas mau balik."
KAMU SEDANG MEMBACA
FLAMBOYAN
Teen FictionTakdir yang sudah di mulai mustahil untuk menghambatnya, bahkan dengan kekuatan manusia sekalipun itu tak akan bisa. Ia berhembus seperti angin tak bisa dihentikan dan tak pasti arahnya akan kemana. Begitu pula dengan kedua tokoh utama di cerita ini...