Libur semester telah tiba membuat Khanza bermalas-malasan di rumah, sementara Huda kembali memfokuskan diri sepenuhnya dengan rumah sakit. Beberapa hari yang lalu Khanza sempat protes dengan Huda mengingat dari semua mata kuliah hanya Anatomi yang mendapat B, bahkan lebih parahnya banyak dari temannya yang mendapat D dan otomatis harus mengulang.
"Libur telah tiba, libur telah tiba. Hore! Hore!" Khanza yang sedang rebahan di atas sofa ruang tamu dibuat kaget dengan kedatangan teman tak berahlaknya. Bukanya salam malah menyanyi, lebih parahnya teriak.
"Benar-benar, ya, kalian ini. Ngapain ke rumah? Aku enggak terima tamu," omel Khanza yang sudah biasa menurut mereka.
Tanpa dosa, Anggi dan Nia langsung merebut toples keripik singkong yang ada di samping Khanza.
"Dokter Huda yang nyuruh nemenin istri tercintanya di rumah," jawab Nia ogah-ogahan.
"Enggak ikhlas gitu?" tanya Khanza sinis.
Nia menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Melihat itu Anggi langsung menjawab dengan cepat. "Ikhlas! kalau banyak jajan kayak gini."
"Berdua aja?"
"Mikir, deh, Za, udah hampir lima menit kita di sini emang ada yang lain lagi?" sewot Nia.
"Siapa tahu yang lain nyusul gitu."
"Mana ada. Kayak enggak tahu Dokter Huda aja kamu," jawab Anggi tak kalah sewot.
"Terus edisi kita sekarang apa?"
"Nonton drakor gitu?" usul Nia yang masih fokus dengan keripiknya.
"Boleh, tapi agak sorean aja mending waktu sekarang kita pergunakan sebaik mungkin untuk bermalas-malasan."
Khanza terkekeh mendengar ucapan Anggi.
"Gimana nasib bangsa kita ke depannya, ya, kalau generasinya seperti ini?" sindir Khanza.
"Alah kayak lo enggak aja, Za. Padahal kalau ada Dokter Huda pasti enggak ninggalin kamar, kan?"
"Jelas, cari pahala, dong," goda Khanza yang membuat mereka panas sendiri.
"Mentang-mentang udah halal, pamer terus!"
Pecah sudah tawa Khanza. "Iri gak, tuh."
"Piket apa suami lo, Za?"
"Piket di kamar atau di rumah sakit?" balas Khanza yang membuat kedua temannya melongo.
"Tahu, ah, Za, semerdeka lo aja, deh. Susah jalin komunikasi sama rakyat bucin." Nia semakin ke sini semakin kesal dengan tingkah Khanza.
"Lha, ada yang salah sama pertanyaan aku?" Khanza berusaha menampilkan muka sepolos mungkin, tak tahu saja ia bahwa Anggi sedari tadi mati-matian untuk tidak mencekiknya.
"Bisa kita bahas yang lain?"
"Kalian udah nonton Miracle in Cell No.7 versi Indonesia, enggak?"
"Belum, tapi versi Korea udah, sih. Gila, sad banget. Malah aku nonton sama Papa waktu itu. Mau nangis, tapi malu banget," celetuk Nia, dia memang tipikal orang yang enggak akan bisa nangis kalau ada orang. Katanya, sih, nangis sendiri di kesunyian rasanya lepas banget.
Mata Khanza berkaca-kaca mendengar itu. "Aku kangen sama Ayah jadinya," ucapnya sedih.
"Ya, pulang. Orang dekat juga," celetuk Nia.
"Bunda sama Ayah ke Australia udah tiga hari. Minggu depan baru balik," balas Khanza cemberut.
"Yang versi Indo dari ost-nya aja udah sad."
KAMU SEDANG MEMBACA
FLAMBOYAN
Teen FictionTakdir yang sudah di mulai mustahil untuk menghambatnya, bahkan dengan kekuatan manusia sekalipun itu tak akan bisa. Ia berhembus seperti angin tak bisa dihentikan dan tak pasti arahnya akan kemana. Begitu pula dengan kedua tokoh utama di cerita ini...