♥🩺
Khanza POV
Aku sekarang sudah masuk semester akhir perkuliahan, semester di mana aku mulai sibuk-sibuknya dengan laporan dan skripsi. Tak jarang, sekali-kali aku juga ikut membantu di rumah sakit.
Dua bulan yang lalu Mas Huda menyelesaikan spesialisnya, di mana ia mengambil spesialis jantung paru. Beberapa bulan terakhir ini ia lebih fokus dengan rumah sakit daripada kampus.
Kehidupan pernikahanku dan Mas Huda berjalan lancar. Hari demi hari kami lalui dengan penuh tawa. Setiap pertengkaran yang terjadi akan diselesaikan hari itu juga olehnya. Tak banyak yang berubah, kecuali cintaku padanya yang semakin bertambah tiap harinya. Aku tak menyangka akan jatuh cinta sedalam ini dengan seseorang bahkan imamku sendiri.
Ia yang baru pulang dari rumah sakit menghampiriku, mengusap lembut suraiku, kemudian mengecup lama kening dan bibirku. Aku tersenyum lembut balas mencium punggung tangannya.
"Mas jadi menyesal enggak perdalami kimia dulu. Sekarang Mas jadi enggak bisa menghitung kadar gula yang ada di senyum kamu," gombalnya membuatku tertawa keras.
"Mas belajar dari mana gombalan itu? Receh banget," ucapku membuatnya cemberut.
"Kamu enggak asik. Dari tadi Mas hapalin malah responnya gitu," protesnya membuatku geli sendiri.
"Ya maaf. Mas diajarin siapa gombalanya."
"Davi yang kirim di grup. Dari Tik-Tok katanya."
"Sudah Khanza duga. Mas, Khanza mau ngomong serius," ucapku mengalihkan fokus Mas Huda yang sedang mengecek skripsiku.
Ia tersenyum lembut, menggenggam tanganku "Apa, Sayang?"
Aku sedikit ragu untuk memberitahunya, takut kecewa karena tak sesuai dengan hasil akhirnya.
"Nanti aja, deh, Mas. Tunggu aku pastiin dulu."
"Kenapa ragu gitu? Ada hal yang ganggu pikiran kamu selama ini? Maaf, ya, Mas terlalu sibuk akhir-akhir ini."
"Ih, bukan itu, Mas. Nanti, deh, Khanza kasih tahu kalu hasilnya udah jelas."
"Ya sudah, sekarang kita makan, ya. Habis itu Mas bantu koreksi skripsi kamu lagi." Ia menarikku pelan menuju meja makan.
Selama makan tak ada yang berbicara hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring.
"Mas aja yang cuci, kamu kupas buah dulu, sekalian skripsinya bawa ke ruang keluarga."
Mendengar itu, aku langsung mencuci beberapa jenis buah kemudian kukupas seperti perintah pak suami. Aku memasukkanya terlebih dulu dalam kulkas, Mas Huda mengajariku, setidaknya kalau mau makan buah setelah makan harus dikasih jeda kira-kira sejam sampai tiga jam agar makanan dapat dicerna dengan benar.
Mas Huda menghampiriku di ruang keluarga, mengambil alih laptopku.
"Mas, bukannya makan buah sebaiknya sebelum makan, ya?"
Ia mencium keningku sebentar, lalu menjawab, "Memang disaranin sebelum makan, Sayang. Cuman kamu ada maag. Teman Mas yang dari gizi nyaranin sesudah makan aja biar asam lambung kamu enggak naik."
"Oh gitu, ya sudah Mas periksa dulu skripsinya. Dua hari lagi aku konsul sama dokter Mara." Mas Huda kembali fokus dengan skripsiku, sesekali ia juga memberitahuku mana yang harus kurevisi. Ia hanya menerangkan garis besarnya dan membuatku paham.
Setelah selesai dengan skripsi aku langsung mengambil buah tadi, sudah hampir sejam setelah aku masukan dalam kulkas. Tak lupa dengan garpu khusus buah. "Kamu akhir-akhir ini Mas perhatiin, suka banget yah, sama stroberi."
KAMU SEDANG MEMBACA
FLAMBOYAN
Dla nastolatkówTakdir yang sudah di mulai mustahil untuk menghambatnya, bahkan dengan kekuatan manusia sekalipun itu tak akan bisa. Ia berhembus seperti angin tak bisa dihentikan dan tak pasti arahnya akan kemana. Begitu pula dengan kedua tokoh utama di cerita ini...