Tangan mungil itu terulur, tak ayal getaran kulitnya terlukis jelas dengan bulu kuduk meremang. Pekikannya terkuar bahkan sebelum si tertua memukulnya dengan sabuk kulit asli. Bibirnya menipis dalam dadanya bergumuruh semakin meriah, wajah yang mulai memucat melukis ketakutannya kala tangan tertua terangkat dan tanpa ragu mencambuk sabuk itu pada lengannya.
Bibir mungilnya memekik, namun tak mengeluarkan suara jeritannya. Lengannya memerah menghantar panas, kulitnya mulai kemerahan, sekali lagi kulitnya dipukul keras menggunakan sabuk kulit tersebut, maka bibirnya memekik kembali. Rasa bekas pukulan tersebut begitu nyata hingga membuat kakinya lemas.
"Ayah."
Pria itu berhenti, sosok pemanggil 'Ayah' berdiri tepat dibelakangnya. "Apa?"
"Bunda bilang udah waktunya berangkat. Grandma sama Granpa tunggu." Si pemuda kecil tersenyum kecil. Diam-diam memperhatikan gadis kecil yang menahan tangis dengan memar sekujur lengannya. Mata mereka bertemu, terlihat si gadis mungil seolah berharap padanya, namun ia hanya memalingkan wajah.
"Oke." Sang Ayah menyerahkan sabuk itu ke putranya. "Zalxa lanjutkan hukuman Zalwa, 10 lagi."
Gadis itu, Zalwa terhenyak sampai mendongakan wajahnya. Menatap ringkih punggung tegap Ayahnya yang mulai menjauh. Langkah lain mengambil atensinya, mendekat ke arahnya membuat Zalwa menjatuhkan tubuhnya, menggeleng kepala pada Zalxa yang membentangkan sabuk itu.
"Kenapa duduk? Kamu yang berulah Zalxa."
Zalwa mengatup bibirnya. "A-Abang, Zalwa cuman main sebentar."
"Tapi kamu ada jadwal latihan kan?" ujar Zalxa tanpa ekspresi.
Air mata gadis itu pecah, gadis itu merangkak ke arah kaki Zalxa, bersimpuh disana dengan tangis pilu. "Zalwa mohon, ampuni Zalwa."
Tangan Zalxa tetap membentang sabuk tersebut, kepalanya merunduk memperhatikan sang adik yang memeluk kakinya putus asa, tangisnya pun pilu. Namun tak sedikitpun Zalxa merasakan sesuatu pada hatinya, katakanlah ia tidak pandai memahami emosi orang.
"Tapi kamu salah."
"Aku tau."
"Kalau gitu kamu harus dihukum."
Kepala Zalwa menggeleng ricuh, irisnya lebih basah dengan bibir bergetar hebat. "Tapi tangan Zalwa sakit, Abang."
"Gadis nakal." Zalxa tanpa ekspresi semakin menekan rasa takut pada Zalwa. Gadis itu pada akhirnya melepas kukungannya pada jenjang kaki Zalxa. Memasrahkan tubuhnya kembali dipukul.
Seperti inilah kehidupan anak-anak Zalka Atharya. Di didik disiplin dengan ketegasan yang cukup menghancurkan para putra-putrinya.
Tangan si tertua mulai terangkat, sementara si termuda mengulurkan tangannya, ditengah tubuhnya yang bergetar ketakutan. Zalwa menengadah, rautnya sangat memprihantikan.
"Ck." Zalxa menurunkan tangannya. Iris tanpa ekspresi itu sedikit mengendur. "Minggir."
Kepala Zalwa mendongak, isakannya terhenti. "Kenapa?"
![](https://img.wattpad.com/cover/305209299-288-k762608.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sektor 3
Teen FictionMereka hanya sekumpulan mahasiswa biasa yang tinggal di asrama suatu universitas, sektor 3. Wilayah asrama mereka berada di sektor 3. Asrama yang terdiri dari 3 gedung yang didesain berbentuk U. Serba tiga jadi yah, ish, ish. Tenang, isinya makhluk...