16

3K 424 54
                                    

You can find me on ;
@ainaaprl - instagram
@aaaaprl - twitter

∞∞∞

     Saturday–08:15

Pening. Adalah hal pertama yang Andin rasakan saat terbangun dari tidurnya. Ia bersandar di kepala ranjang, dengan tangan yang memijat pelipisnya. Setelah sakit kepalanya mereda, gadis itu berniat untuk pergi ke kamar mandi.

Namun, belum sampai kakinya menyentuh lantai, mata Andin membelalak ketika menyadari sesuatu yang janggal. Pertama, kamar ini terasa asing untuknya. Tapi dari segi desain dan warna yang dominan, Andin mengenalinya.

Kedua, semalam Andin pergi ke acara party Joe dan menenggak banyak alkohol. Ketiga, samar-samar Andin mengingat kehadiran Aldebaran di club.

Lalu keempat, di ranjang ini. Memori yang coba Andin ingat berputar begitu tertata. Mulai dari setiap kalimat yang ia utarkan sampai tindakan yang Andin lakukan. Hingga bagian ketika ia merasakan bagaimana panasnya ciuman Aldebaran.

Serpihan ingatan saat jemarinya bergerak membuka kancing kemeja pria itu. Sampai kalimat terakhir yang Andin ucapkan. Sebuah kalimat permohonan. Dan setelah itu, Andin tidak ingat apa yang terjadi.

Kaos hitam kebesaran yang melekat di tubuhnya menjadi salah satu bukti. Sepertinya mereka benar-benar melakukannya. Andin merutuki dirinya sendiri karena mabuk membuatnya tidak terkontrol.

Jika semalam ia benar-benar tidur dengan bosnya, berarti Andin sedang dalam masalah besar. Ia meloncat keluar dari dalam selimut, menekan handle pintu lalu melarikan diri keluar. Andin harus bertemu Aldebaran untuk memastikan semuanya.

Tapak kakinya bergerak cepat menuruni anak tangga. Namun saat akan tiba di undakan terakhir, keseimbangannya hampir hilang. Bukan. Bukan karena ia tidak hati-hati. Tapi karena maniknya menemukan Ardhan dan Nayara sedang berada di living room.

"Hai. Kau sudah bangun?" Nayara yang pertama kali menyadari kehadiran Andin.

Double kill! Semua pasang mata yang ada di ruangan itu menoleh bersamaan ke arahnya. Segaris senyum tanpa kecurigaan pun Andin ciptakan. "Hai. How are you?" Sapanya ramah.

"We're good, honey." Balas Nayara tersenyum.

Andin kembali menuruni sisa anak tangga, dan berdiri di sisi pria yang ingin ia mintai keterangan. Sayangnya hal itu harus tertunda karena kehadiran orang tuanya.

"Bagaimana tidurmu?" jemari Aldebaran menyelipkan surai gadis itu ke belakang telinga. Kemudian tangannya beralih merangkul pundak terjauh Andin.

Jantung Andin mulai tidak aman. "Cukup nyenyak," balasnya singkat. Pandangannya berpindah lurus. "Maaf aku menemui kalian dengan keadaan yang seperti ini," Andin merasa tidak sopan menemui tamu penting dengan kondisinya yang masih berantakan.

Nayara menggeleng. "Tidak apa, Andin. Aku tahu kau pasti lelah karena harus menyelesaikan pekerjaan kantor sampai larut,"

"Pekerjaan kami sangat menumpuk, Mom."

Gadis dengan kaos hitam itu bergeming. Ekor matanya melirik ke arah Aldebaran. Dalam kebingungannya, Andin mendapati pria itu memberikan sebuah isyarat kecil—anggukan.

Sekarang Andin paham. Lelaki itu menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Dan secara tidak langsung, Aldebaran menyelamatkannya.

"Ya. Kami lebih sibuk akhir-akhir ini," Andin ikut menyempurnakan sandiwara yang sedang ia mainkan.

"Mom mengerti. Tapi jangan terlalu memaksakan diri. Pekerjaan memang penting, tapi kesehatan kalian jauh lebih penting." Nayara mengeluarkan sisi ke ibuannya.

The HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang