41

1.5K 318 36
                                    

You can find me on ;
@ainaaprl – instagram
@aaaaprl – twitter

∞∞∞

     Setelah kepulangannya dari mansion keluarga Adytama, keduanya kembali menjalani rutinitas seperti sedia kala. Bekerja 9 to 5 di hari senin sampai jumat, serta kegiatan baru mereka di akhir pekan—pergi berkencan atau sekedar quality time layaknya sepasang kekasih pada umumnya.

Dan hari ini, mereka berangkat bersama menuju kantor dengan sedan Maybach yang di kemudikan Aldebaran. Setibanya di Adytama Tower, Chris adalah orang pertama yang menyambut kedatangan mereka dengan berdiri di tangga terbawah. Aldebaran memberikan kunci mobilnya pada seorang petugas valet lalu bergerak menaiki tangga.

Chris ikut menyamakan langkah dan berdiri di belakang bersama Andin. "Miss Abigail."

"Good morning, Chris."

"Miss Sheenan sudah menunggu Anda di kedai kopi."

Langkah Andin seketika terhenti, begitu juga dengan Aldebaran yang langsung membalikkan badannya. "Kau tidak memberi tahuku jika Bianca berada di sini,"

Garis kerutan yang muncul di kening Andin membuktikan bahwa dirinya juga tidak tahu menahu. "Aku sudah beberapa hari tidak bertukar kabar dengannya. Kalau begitu, aku izin menemuinya sebentar. Kau tidak keberatan, 'kan?"

"Tidak masalah, sayang. Take your time."

Andin memutar haluannya menuju kedai kopi yang berada di dalam gedung. Maniknya mengedar dan berpapasan dengan sahabatnya yang tengah duduk dengan secangkir minuman di hadapannya. Keduanya saling bertukar sapa kemudian Andin berkata, "Kau tidak menghubungiku jika akan datang."

"Sengaja. Lagi pula aku hanya singgah sebentar, Ben sudah menungguku di bandara."

"Lalu, apa yang membawamu kemari?" tanya Andin penasaran.

Bianca terdiam, ujung tangannya masih bertengger di sisipan gagang cangkir ditengah usahanya menelan kopi yang baru saja ia seruput. "Ada yang ingin aku sampaikan padamu."

"Ada apa?"

"Dua hari yang lalu Reynold menemuiku. Dia meminta tolong dan memohon padaku untuk membujukmu pulang ke Jakarta."

Dengan mendengar namanya saja sudah merusak suasana hati Andin pagi ini. "Kau terbang ke Sydney hanya untuk mengatakan itu? Waktumu terbuang sia-sia, Bianca."

Sebelum keberangkatannya, Bianca sudah menduga jika hanya akan ada penolakan yang ia terima. Namun, Bianca tetap tidak mengurungkan niatnya. Karena, menurutnya tindakan yang Andin lakukan selama ini adalah sebuah kesalahan. "Aku baru tersadar, seharusnya dulu aku menahanmu pergi. Seharusnya dulu kau menyelesaikannya, bukan lari dan mengasingkan diri selama bertahun-tahun. Pikirkanlah, Andin. Kau tidak bisa selamanya hidup dalam kebencian ini."

"Kau tidak mengerti, Bianca. Kau tidak mengerti rasanya tersakiti oleh orang yang paling aku sayangi."

"Aku tahu. Tapi ingatlah, dalam situasi ini bukan hanya kau yang tersakiti. Kau juga luka bagi orang lain." Bianca beranjak dari tempatnya. "Ibumu berada di rumah sakit Dipta Mulia. Aku pamit."

∞∞∞

Andin melangkah keluar dari lift lalu bergegas mendudukkan diri di hadapan tumpukan pekerjaan yang menantinya. Wanita itu menundukkan kepala, jari jemarinya terangkat mengisi sela-sela surai panjangnya. Ucapan Bianca beberapa saat yang lalu terus berputar tanpa henti hingga menyebabkan kepalanya pening.

"Andin."

Panggilan singkat tersebut membuat Andin mendongak, ia bangkit dari kursinya sesaat menemukan Aldebaran sudah berdiri menjulang di depannya. "Ya, Pak? Anda membutuhkan sesuatu?"

"Kau sudah selesai bertemu dengan Bianca?"

Andin berusaha bersikap tenang agar Aldebaran tidak curiga padanya. "Dia hanya menanyakan kabarku lalu kembali pergi untuk mengurus sesuatu."

"Baiklah. Tolong bawakan berkas yang harus aku tanda tangani." Aldebaran kembali masuk ke dalam ruang kerjanya. Tak berselang lama Andin muncul melewati pintu, wanita itu mengisi sofa kosong yang berada di seberangnya seraya menyerahkan sejumlah dokumen yang ia bawa ke atas meja.

Selagi Aldebaran memeriksa ulang hasil kerja sekretarisnya, irisnya sesekali melirik ke arah Andin yang terlihat jelas sedang melamun. "Kau sedang memikirkan apa?"

Andin mengerjap beberapa kali. "Tidak ada, Pak."

Pandangan keduanya terkunci, Aldebaran tengah menelusuri lebih jauh penyebab dari raut kegelisahan yang timbul. "Mulutmu bisa berbohong, tapi tidak dengan matamu."

Kepalan tangan Andin yang berada di atas pangkuannya menguat. Wanita itu mengalihkan pandangannya, hembusan napasnya terasa semakin berat. "Reynold memintaku pulang."

Aldebaran bergeming, ia kembali tersadar jika kekasihnya masih memiliki kisah masa lalu yang belum selesai. "Lalu, apa yang akan kau lakukan? Kau akan menurutinya?"

"Aku takkan pernah kembali ke tempat yang sudah menghancurkan hidupku."

"Kau meninggalkan seorang ibu di sana. Dia pasti sangat menunggu kehadiranmu. Apakah kau tidak merindukannya?"

Dingin, manik cokelat Andin menyorot begitu sinis. "Dia adalah ibu yang sudah mengkhianati anak kandungnya sendiri. Tak ada gunanya aku peduli dengan orang yang tidak memiliki hati nurani."

"Dia memiliki alasan yang belum kau ketahui, Andin."

Alis tebal Andin saling bertautan. "Mengapa kau bisa berkata seperti itu? Kau membela kejahatannya?"

"Setiap orang memiliki alasan atas tindakan yang mereka lakukan. Kau harus mulai memaafkan dan berdamai dengan segalanya." Aldebaran paham betapa sulitnya mewujudkan kata-kata itu, tapi dirinya juga sedang berusaha. Aldebaran ingin mereka sembuh bersama-sama.

"Kukira kau adalah orang yang paling mengerti perasaanku, ternyata aku salah." Andin meninggalkan ruangan dengan hati bergemuruh. Ia masuk ke dalam elevator yang akan membawanya menuju lantai teratas gedung. Satu tangannya mendorong kasar pintu kemudian berjalan lurus menuju dinding pembatas rooftop.

Andin menghirup napas dalam, lalu menghembuskannya berulang kali untuk meredam gejolak emosinya. Mengapa kini dua orang terdekatnya tak lagi berada di pihaknya?! Mereka seolah-olah menyudutkan dan menyalahkan Andin atas apa yang terjadi. Mungkin sekarang Andin—lah sang tokoh antagonis dalam cerita ini.

"Ada masalah apalagi? Kau bertengkar dengan pria dewa itu?" tanya Joe, yang ikut bergabung sembari mengambil satu batang rokok dan mulai membakarnya dengan pemantik.

"Kali ini lebih rumit."

"Kau hamil anaknya?!" pertanyaan sarkas yang keluar dari mulut Joe langsung dibalas dengan delikan tajam nan menusuk dari Andin. "Tenanglah, aku hanya sedang menebak."

Joe kembali memutar otaknya. Perkara utama yang selalu membuat teman wanitanya ini geram adalah pria. Jika sumbernya bukan Aldebaran, berarti.... "Aku tahu. Ini soal mantan kekasih yang sekarang menjadi ayah tirimu itu, 'kan?"

"Aku benci mendengarnya."

"Jujur, sungguh rumit berada di posisimu. Satu sisi kau berhak marah pada ibumu. But, she's your mother. Kalian berjuang untuk saling menguatkan di saat ayahmu tiada. Kalian menciptakan banyak momen untuk dikenang. Kau masih menjadi satu-satunya harapan dia di masa depan."

Andin tersenyum kecut. "Kau adalah orang terakhir yang kuharap tidak memihaknya. Aku tak mengerti mengapa kalian terus-menerus menghakimi diriku."

"Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tidak membenarkan perbuatan mereka. Namun, jika kebahagiaan ibumu ada pada Reynold, kau harus merelakannya." Joe berharap ucapannya dapat meluluhkan hati kecil Andin. "Dan lagi, apakah kau tidak menyadari jika Tuhan telah menuntunmu bertemu dengan lelaki yang jauh lebih baik darinya?  Kau bisa menemukan kebahagiaanmu lagi bersama lelaki yang tulus mencintaimu, Aldebaran."

-The Healer-
Saturday, 08 April 2023
20:22

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian,
vote&comment yang banyak,
sampai jumpa lagi🦋

Your captain,
Aina.

The HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang