42

1.5K 322 39
                                    

You can find me on ;
@ainaaprl – instagram
@aaaaprl – twitter

∞∞∞

     Malam ini Andin memutuskan untuk pulang ke apartemennya, ia menolak permintaan makan malam bersama Aldebaran seperti yang selalu mereka lakukan. Pikiran dan emosinya sedang tidak stabil, Andin hanya ingin menenangkan dirinya sejenak. Hari ini ia terlalu banyak mendapat penghakiman, membuatnya merasa dunia seakan tidak adil.

Andin masih bisa merasakan sesak yang luar biasa di dadanya ketika mengingat kejadian yang membuatnya tersadar akan kebodohannya selama ini. Tanpa bisa dicegah, air mata Andin jatuh melewati pipinya. Andin memeluk lututnya sendiri dan menelungkupkan kepalanya di sana, membiarkan tangisan menemani kesunyiannya.

Dalam keheningan, Aldebaran berdiri di ambang pintu. Ingin rasanya ia menghampiri Andin dan memberikan pundaknya untuk bersandar, tapi Aldebaran tak kunjung melakukannya. Andin membutuhkan ruang dan ia tak bisa memaksanya.

Meski awan kelabu masih mengurungnya, Andin tak ingin terus larut karenanya. Andin melangkah keluar kamar lalu mengambil segelas air untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Namun, kotak makan yang berada di atas meja dapur menarik perhatiannya.

Kau tidak boleh melewatkan makan malammu.

Begitulah isi dari secarik kertas yang tertinggal. Ada seseorang yang menyusup ke dalam apartemennya, dan hanya ada satu orang yang berani melakukan itu. Andin mengambil ponselnya, mencari kontak yang dituju lalu mengirimkan sebuah pesan. Setelah membersihkan peralatan makanannya, fokus Andin teralihkan oleh suara ketukan dari luar.

Sesaat manik Aldebaran bertemu dengan netra sendu milik Andin, perasaannya jauh lebih tenang dibandingkan ucapan terima kasih yang ia terima. "Aku hanya ingin memastikan keadaanmu."

Andin bergeming sejenak kemudian menggeser tubuhnya sehingga membuat celah di antaranya. "Masuklah."

Keduanya duduk berdampingan di sofa, lalu Andin mengungkapkan satu pertanyaan. "Kau melihatku menangis?"

Lelaki berkaus putih itu memalingkan wajahnya hingga tautan mata mereka bertemu. Diamnya Aldebaran kini merupakan rasa bersalah yang ia sesali. "Maafkan aku atas apa yang kukatakan padamu pagi tadi. Aku tak bermaksud membuatmu merasa buruk."

Andin melempar senyum tipis. "Aku mengerti. Kau hanya menginginkan yang terbaik untukku."

"Harapan terbesarku saat ini hanyalah kita bisa berjuang bersama-sama untuk sembuh." Aldebaran mendaratkan satu tangannya di atas punggung tangan Andin. "Semenjak mengenalmu aku jauh lebih kuat dari sebelumnya. Aku tak khawatir jika suatu waktu hal buruk menimpaku, karena aku memiliki kau sebagai tujuan. Kau adalah rumah ternyamanku untuk pulang. Dan kuharap kau pun begitu."

Andin memberikan anggukan kecil. Mungkin di awal Andin menyangkal atau bahkan menentang ketika pria menyebalkan itu mengusik dan memaksa masuk ke dalam hidupnya, tapi kali ini ia tak sedikit pun menyesalinya.

"Jadi, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Aldebaran memutar topik pembicaraan.

Andin mengedikkan bahunya. "Aku akan memikirkannya lebih dulu. Membuat keputusan dalam keadaan seperti ini takkan pernah berhasil."

"Jika kau tak ingin pergi sendiri, aku akan menemanimu."

∞∞∞

Dua hari kemudian
Jakarta, Indonesia
10:00

Setelah berpikir cukup matang, Andin memutuskan untuk pulang ke Indonesia—tentu saja dengan menerima tawaran Aldebaran untuk ditemani. Keberangkatannya juga di sambut baik oleh dua sahabatnya. Semoga ini adalah keputusan yang tepat, sebab butuh mental yang kuat untuk kembali ke tempat yang sudah menciptakan trauma terbesarnya.

Pesawat pribadi Aldebaran telah mendarat mulus di landasan pacu khusus yang ada di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Di sana, sebuah sedan hitam telah menunggunya. Aldebaran membukakan pintu untuk Andin sebelum dirinya mengitari mobil dan duduk di kursi kemudi. Kali ini Aldebaran tidak menggunakan supir, karena ia memiliki Andin sebagai penunjuk arah.

Keduanya tiba di rumah sakit Dipta Mulia setelah menempuh perjalanan cukup lama akibat situasi jalanan ibu kota yang padat. Andin baru menyadari jika rumah sakit ini milik keluarga Pradipta. Ayah Reynold mengambil alih rumah sakit ini setelah kedua orang tuanya meninggal dunia. Dan mungkin saat ini Reynold juga menjadi salah satu bagian dari pemimpin rumah sakit tersebut.

Bianca telah mengirimkan informasi tentang kamar tempat ibunya dirawat. Sesaat kotak besi yang mereka tumpangi tiba pada lantai yang dituju, jantung Andin mulai berdebar tak karuan. Hingga ia berhenti cukup lama di depan kamar VVIP 01. Andin tengah mengumpulkan keyakinan untuk menyeberangi batas yang sudah menjadi penghalangnya sejak lama.

"Kau sungguh tak ingin aku temani?" tanya Aldebaran pada kesempatan terakhir.

Andin menolak halus dengan gelengan di kepalanya. "Tidak perlu. Aku akan mengatasinya seorang diri."

Sejujurnya Aldebaran sangat mengkhawatirkan kondisi Andin, hanya saja ia sengaja tidak terlalu menunjukkannya. "Baiklah, aku akan menunggumu di sini."

Dinginnya gagang pintu yang bersentuhan dengan telapak tangannya, memacu degup jantungnya semakin kencang. Andin melangkah jauh lebih dalam sampai akhirnya manik cokelatnya menemukan sosok wanita tengah terduduk di atas ranjang sembari membaca buku.

Viola melepas pandangannya dari lembaran kata sesaat menyadari seseorang tengah berjalan ke arahnya. Sepersekian detik selanjutnya, pupil wanita itu membulat sempurna dengan tangan yang menutup mulutnya. "Ya, Tuhan! Apakah aku berhalusinasi? Bagaimana bisa kau terlihat begitu nyata?"

Andin menggigit bagian dalam bibirnya. Ia berusaha keras meredam amarah dan egonya pada wanita di depannya. "Kau tidak sedang bermimpi, Mom."

Mendengar suara yang begitu Viola rindukan, membuat kedua tangannya membingkai wajah Andin dengan penuh kehati-hatian. Tanpa bisa dibendung, tangis Viola jatuh di pelukan putri kecilnya. "Akhirnya kau kembali. Mommy sangat merindukanmu, Andin."

Sisa rasa nyaman dan damai masih tersimpan di lubuk hati terdalam Andin kala menerima dekapan rindu sang ibu. Tempat itu hidup kembali dan masih dihuni oleh orang yang sama.

"Ibu! Lihatlah apa yang aku buat di sekolah!"

Viola menarik diri kala teriakan Kevin menggema, jarinya terangkat untuk menghapus jejak air matanya. "Kau sudah pulang, Nak?"

Bola mata hitam Kevin melebar, kertas yang berada di tangannya pun sudah terjatuh ke lantai. "Kakak? Is that you?!" bocah tampan berusia lima tahun itu berlari mendekat, lengan mungilnya mengelilingi kaki Andin karena tingginya hanya sebatas paha orang dewasa. "Mengapa kakak tidak pernah pulang? Kakak tidak merindukanku, ya?"

Makhluk kecil yang Reynold katakan benar nyata adanya. Andin memang mendambakan seorang adik, tapi bukan dengan cara seperti ini. Sekarang, Andin tak tahu harus menyukai atau membenci kelahirannya.

Andin meninggalkan ruangan dan membawa pergi kakinya sejauh mungkin. Baik Aldebaran maupun Reynold yang berada di depan ruangan tampak kebingungan. Keduanya saling melempar pandang, sebelum Aldebaran bergerak mengejar Andin sedangkan Reynold menghampiri Viola dan putranya.

Ketika jarak antar keduanya sudah dekat, Aldebaran menahan pergelangan tangan Andin untuk menghentikannya. "Hei. Apa yang terjadi, sayang?" tanpa diduga Andin langsung menyandarkan kepalanya di dada Aldebaran. Seakan mengerti, lengan besar Aldebaran menyambutnya hangat seraya membelai lembut punggung Andin yang kini menangis dalam diam.

-The Healer-
Saturday, 15 April 2023
19:53

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian,
vote&comment yang banyak,
sampai berjumpa lagi✨️

Your captain,
Aina.

The HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang