38

1.9K 390 54
                                    

You can find me on ;
@ainaaprl - instagram
@aaaaprl - twitter

∞∞∞

Buat yang lupa sama ceritanya,
bisa baca ulang ya..

∞∞∞

Beberapa saat sebelumnya.

Sore menjelang malam, Aldebaran baru kembali dari pertemuan bisnis yang cukup menguji tingkat kefokusannya. Sesaat memasuki ruang rawat, tujuan pertamanya adalah memeriksa keadaan Andin. Dan ternyata Aldebaran mendapati dua sahabat kekasihnya tengah berbincang dengan ibunya, sedangkan sang ayah entah sedang berkutat apa dengan iPad—nya.

Nayara yang pertama kali menyadari kehadiran sang putra. "Akhirnya kau kembali," ia meninggalkan sofa empuknya, sebelum kembali bertanya. "Kau tidak mengatakan akan pergi ke kantor."

"Aku lupa jika aku memiliki rapat penting yang tidak bisa ditinggalkan, Mom."

"Kau sudah makan? Kau terlihat sangat pucat," Nayara menyentuh wajah putra sulungnya dengan sorot mata yang begitu cemas.

Aldebaran menggelengkan kepalanya.

"Sebentar, Mommy akan meminta Chris untuk membawakannya."

"Tidak perlu, Mom. Aku tidak ingin makan," tolak Aldebaran untuk kesekian kalinya sejak hari kemarin.

"Jangan menyiksa dirimu seperti ini, Aldebaran."

"Aku baik-baik saja. Mommy tidak perlu mencemaskan apapun." Aldebaran mengulas segaris senyum untuk menenangkan sang ibu. "Aku ingin membersihkan diri lebih dulu."

Aldebaran pun membawa kakinya menuju kamar mandi yang berada tak sampai puluhan langkah dari tempatnya berpijak. Namun, secara mendadak reaksi tubuhnya berubah total. Sekujur tubuhnya mengeluarkan keringat dingin, tangannya gemetar hebat, jantungnya berdebar sangat kencang, aliran darahnya terasa sangat panas, kepalanya pening tak tertahankan, belum lagi dengan pandangannya yang seketika buram.

Tetapi Aldebaran menahannya dan mencoba untuk tetap bersikap tenang, seperti tidak ada sesuatu yang terjadi padanya. Malangnya, usaha yang Aldebaran kerahkan terancam gagal total. Sepersekian detik kemudian, tubuh kokohnya ambruk menabrak lantai dingin rumah sakit hingga membuat semua pasang mata beralih ke arahnya.

"Ya Tuhan, Aldebaran!"

Ketika mendengar teriakan dari orang di sekitarnya bersamaan dengan suara yang terjatuh, Ardhan bergegas bangkit sembari melempar asal tabletnya ke atas sofa. "Tolong panggilkan dokter dan minta bawakan ranjang baru. Sekarang!" perintah Ardhan pada salah seorang pengawal yang berjaga di depan ruangan.

Disaat beberapa dokter tengah sibuk menangani Aldebaran, Joe menyadari Andin yang masih tak sadarkan diri itu nampak gelisah. Pria itu mendekat dan berdiri di sisi tempat tidur, begitu juga dengan Monic yang turut memusatkan perhatiannya pada Andin.

Awalnya Joe hanya menyerukan nama Andin berulang kali hingga ia refleks menepuk pundak wanita itu cukup kencang hingga kelopak mata Andin terbuka lebar. Joe dapat menyaksikan Andin seperti orang yang sedang kebingungan. Ketika pandangan keduanya bertemu pun, Joe menerka seakan-akan Andin tidak mengenali dirinya sendiri bahkan mungkin tidak mengetahui dimana dia berada.

"Apakah kau bisa mendengar suaraku, Andin?"

"Dokter, kami butuh bantuan." Kepanikan Joe bertambah ketika melihat Andin meringis seraya meremas kuat kepalanya, seperti sedang menahan kesakitan.

Atas perintah sang dokter, para suster pun dengan sigap menggiring semua orang yang berada di dalam ruangan menuju pintu sebelum menutupnya rapat. Selang beberapa menit kemudian, akses masuk itu kembali terbuka. Belum sampai Nayara membuka pembicaraan, dokter tersebut sudah menodongnya dengan sebuah pertanyaan.

The HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang