44

1.5K 305 27
                                    

You can find me on ;
@ainaaprl - instagram
@aaaaprl - twitter

∞∞∞

Jakarta, 19:00

Aldebaran memutuskan untuk bermalam di apartemen milik sang ibu. Walau apartemen ini tak terlalu besar, tapi cukup nyaman untuk beristirahat selama mereka berada di Jakarta. Aldebaran mendorong dua suitcase miliknya dan juga Andin menuju kamar utama yang tersedia.

"Ada pakaian bersih di dalam lemari, kau bisa memakainya." Ucap Aldebaran yang di jawab dengan sebuah anggukan. "Aku izin menemui Chris sebentar."

Manik Andin mengedar ke sekeliling ruangan, warna putih dan krem mendominasi setiap sudut kamar dengan sebuah ranjang berukuran besar. Kaca yang tidak tertutup tirai memperlihatkan pemandangan gedung-gedung tinggi di seberangnya.

Beranjak dari tempatnya berdiri, Andin membasuh kedua tangan juga wajahnya lalu mengeringkannya dengan sebuah handuk kecil yang berada di dalam kamar mandi. Andin memperhatikan gambar dirinya di cermin, hari ini terasa sungguh melelahkan bagi fisik dan mentalnya. Andin sering kali merasa sedih ketika melihat dirinya sendiri dan bertanya-tanya mengapa ia seperti ini.

Ketika mendengar suara Aldebaran memanggilnya dari luar, Andin buru-buru mengangkat kepalanya tinggi-tinggi untuk menahan air mata yang nyaris jatuh. Memastikan ulang keadaannya lewat cermin, lalu menarik napas dalam sebelum keluar dari kamar mandi. "Kau sudah selesai?"

"Sedang apa kau?" tanya Aldebaran dengan satu alis yang terangkat.

"Aku baru akan mandi, tapi aku lupa membawa perlengkapanku."

Keduanya saling bersitatap, lalu Aldebaran kembali mengajukan pertanyaan sederhana tapi mengandung banyak emosi di dalamnya. "Apa kau baik-baik saja?"

Andin menelan salivanya sekuat tenaga, untuk saat ini berbohong di hadapan Aldebaran adalah suatu kemunafikan.

Lelaki dengan marga Adytama tersebut sudah lebih memahami apa arti dari keterdiaman Andin. Aldebaran mendekat bersama dengan lengan besarnya yang kini sudah mengelilingi tubuh mungil Andin.

Sapuan lembut dan dekapan hangat yang Andin terima mampu meredam sedikit suasana riuh di kepala dan hatinya. "Keputusanku sudah tepat, 'kan? Aku takut salah mengambil langkah, Aldebaran." Memberi kesempatan kedua dan merelakan keegoisan ini dimenangkan oleh sang ibu. Sudahkah Andin mengambil jalan keluar yang benar?

"Kau sudah melakukan yang terbaik, sayang. Meski tidak mudah, aku tetap bangga padamu karena berhasil sampai di titik ini."

Andin merelai pelukannya, manik sendunya bergerak mengamati setiap garis wajah Aldebaran. "Kau sudah banyak berkorban untukku. Padahal kau memiliki trauma yang belum sepenuhnya sembuh, tapi kau selalu mempunyai cara untuk menguatkanku. Maaf jika aku selalu menyulitkanmu dan membebanimu dengan keadaan ini."

Jemari Aldebaran menautkan beberapa helai surai Andin ke belakang telinga. "Jangan berbicara seperti itu. Apapun yang terjadi kita akan menghadapinya bersama. Aku sudah berjanji akan hal itu padamu."

∞∞∞

"Kau yakin ingin makan di sini?"

Sudah kesekian kalinya wanita itu bertanya sejak Aldebaran memarkirkan mobilnya di sisi jalan. "Tentu, sayangku. Mengapa kau tidak percaya sekali, hmm?"

"Entahlah. Saat kau mengatakan ingin mencari makan malam, aku tidak menyangka kau akan memilih tempat ini." Andin masih tidak habis pikir dengan kelakuan bosnya yang tiba-tiba melokal.

"Ibuku bercerita, dia selalu mampir kesini jika sedang berada di Jakarta. Jadi, mengapa aku tidak mencobanya juga?" Aldebaran mengedikkan bahunya. "Kau menyukainya, bukan?"

The HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang