43

1.4K 304 24
                                    

You can find me on ;
@ainaaprl - instagram
@aaaaprl - twitter

∞∞∞

     Kaki jenjangnya bergerak menyusuri jalan setapak di bawah kilauan semesta menuju senja. Perasaan gugup melanda Andin sesaat langkahnya terhenti di tempat yang dahulu selalu menjadi rumah kedua untuk bercerita.

Lima tahun lamanya Andin tak mengunjungi makam sang ayah, dan selama itu pula ia selalu mengirim doa dari kejauhan. Andin meletakkan satu buket bunga kemudian menatap lurus pada nama yang tertulis di sana.

In Loving Memory,
Adrian Natama.

"Hai, Dad. It's been a while. Kuharap kau tidak marah karena putrimu ini tak pernah berkunjung. Daddy sedang apa di surga? Aku sangat merindukanmu, Dad." Andin merenung sejenak sebelum menghela napas berat lalu kembali melanjutkan percakapannya dengan sang ayah.

"Aku yakin Daddy mengetahui alasanku yang tak pernah kembali. Kau pasti menyaksikan semuanya, bukan? Aku juga yakin Mommy telah berbicara lebih dulu padamu." Andin menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa sesak yang selalu muncul setiap kali membahas kejadian buruk itu. Seakan mendengar keluhnya, angin berhembus kencang hingga membuat daun-daun berguguran.

"Mommy mengkhianati dan membohongiku, Dad. Dan sampai detik ini aku masih sangat membencinya. Aku mengerti, kau pasti kecewa dengan keputusanku waktu itu. Tetapi, kesalahan yang Mommy lakukan padaku sulit untuk dimaafkan."

"Sekarang aku tak tahu harus berbuat apa, Dad." Lirihan Andin sangat menggambarkan keputusasaannya. Andin tak lagi mampu menahan isak tangisnya di depan pusara sang ayah. "Aku tak tahu bagaimana cara menyudahi penderitaan ini...."

Satu tangan Andin menyentuh nisan di hadapannya, kepalanya tertunduk dalam bersama netra yang terpejam rapat. "Kumohon bantu aku, Dad. Kumohon bicaralah denganku."

Dari kejauhan, dibalik kacamata hitamnya manik tajam Aldebaran tak melepas pandangnya dari Andin yang tengah mengadu pada sosok terkasih yang telah lama pergi. Beberapa saat yang lalu, Aldebaran sempat terkejut dengan kehadiran anak kecil berusia lima tahun yang sekilas wajahnya serupa dengan Reynold. Menurutnya, anak itu menjadi salah satu titik terberat Andin untuk menghadapi segala kenyataan yang ada di depan matanya.

Hidup berdampingan dengan trauma itu memang sulit. Namun, jika kita peduli dengan diri sendiri, kita harus berjuang untuk pulih. Keadaan ini harus diperbaiki bukan diakhiri. Kesalahan ini harus dibicarakan bukan ditinggalkan.

Selepas dari pemakaman, Aldebaran kembali mengemudikan sedannya di tengah kepadatan jalan raya ibu kota. Lelaki itu mengacuhkan pertanyaan yang Andin layangkan sesaat mereka memasuki area rumah sakit Dipta Mulia. Setelah mobilnya berhenti sempurna, Aldebaran menoleh ke arah wanita yang terus menuntut penjelasan darinya.

"Mengapa kau membawaku ke tempat ini?" tanya Andin untuk kedua kalinya, raut wajahnya menunjukkan isyarat keberatan.

"Kau belum menyelesaikan apa yang seharusnya diselesaikan sejak lama."

Andin menggelengkan kepalanya lemah. "Aku belum bisa menuntaskannya sekarang, Aldebaran. Aku masih butuh waktu...."

"Kau tak bisa terus berlari, sayang. Ingatlah, kita akan melaluinya bersama-sama." Ibu jari Aldebaran menyapu halus deraian air mata yang terjatuh dari pelupuk Andin. "Jika kau tak ingin melakukannya untuk diri sendiri, setidaknya lakukanlah ini untuk ayahmu."

∞∞∞

"Dia sudah tertidur?"

Viola mengangguk seraya memerhatikan Kevin yang belum lama terlelap di ranjangnya. Sesaat Andin meninggalkan ruangan tanpa kata, Kevin terus merengek dan tidak berhenti menangis sampai anak itu kelelahan dengan sendirinya. "Aku tidak tega melihatnya."

"Dia belum mengerti keadaan yang sebenarnya, Vi." Reynold ikut memerhatikan wajah polos putranya yang turut terjebak dalam permasalahan ini.

"Apakah Andin sudah kembali?" tanya Viola, yang mencemaskan kondisi putrinya selepas pertemuan pertamanya dengan Kevin—adiknya.

"Aku melihatnya di ruang tunggu."

"Bisakah kau menemani Kevin sejenak? Aku ingin menemui Andin. Aku tak bisa menundanya lagi, semua sudah terlanjur menyakitkan untuknya."

Reynold mengangguk. "Temuilah, aku akan menjaganya. Aku akan berbicara dengan Andin setelah kau kembali."

Meski pening di kepalanya belum reda, Viola tetap membawa tungkainya menelusuri lorong yang sunyi. Ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin takkan datang lagi. Viola mengedarkan pandangannya ke sekeliling, irisnya menemukan Andin tengah terduduk bersama pria yang pernah ia lihat dalam headline berita.

Namun, tak berselang lama pria itu bangkit dan tanpa sengaja menyadari keberadaannya. Pria yang ia ketahui bernama Aldebaran tersebut menunduk kecil sebagai tanda hormat kemudian berlalu pergi meninggalkan Andin seorang diri.

Mengambil langkah mendekat tanpa suara, Viola menempati bagian kosong kursi panjang tersebut. Ia memalingkan wajahnya ke arah Andin yang tak memberikan reaksi apapun atas kehadirannya. "Andin. Bolehkah Mommy meminta waktumu sebentar?"

Ketika tidak kunjung menerima jawaban sepatah kata pun, Viola menganggap jika Andin telah mengizinkannya. "Mommy ingin mengutarakan yang sebenarnya padamu. Namun sebelumnya, apa yang ingin Mommy sampaikan bukan untuk membela diri atas kesalahan yang kulakukan, tapi untuk meluruskan tentang apa yang tidak kau ketahui selama ini."

"Kebenaran jika akulah yang merebut Reynold darimu? Sudahlah, Mom. Penjelasanmu hanya akan terasa sia-sia, karena pada akhirnya tetap akan menyakitiku." Andin enggan melakukan kontak mata dengan wanita yang masih menjadi ibu kandungnya.

"Tidak, Andin. Kau salah besar. Justru Mommy yang telah merebutnya darimu. Aku menyesali keegoisan ini setiap harinya dan menyadari bahwa Mommy sudah kehilanganmu sejak hari itu."

"Sejujurnya sampai sekarang aku masih bertanya-tanya, mengapa dari banyaknya manusia harus Mommy orangnya? Mengapa harus wanita yang melahirkanku yang memberi luka terbesar di hidupku? Andai bukan dirimu yang melakukannya, mungkin hidupku tidak akan sehancur ini."

Kedua bahu Viola melemah, luapan kepedihan sang putri kian meremukkan jantungnya. "Mommy benar-benar berdosa padamu, Andin. Aku sadar tindakan yang kulakukan amat sangat membuatmu marah dan kecewa, tapi bolehkah jika Mommy selalu berharap kau bisa mengabulkan permintaan maafku?"

Andin bergeming. Menarik napas dalam sebelum bergumam pelan, "Tak perlu memintanya lagi, aku sudah memaafkanmu." Untuk Daddy. Andin berulang kali meyakinkan hal itu dalam hatinya.

"Andin."

Netra Andin setia memandangi gradasi jingga dan merah yang terlukis di lingkaran langit Jakarta petang ini. "Tak apa. Biar aku yang mengalah demi kebahagiaan Mommy."

Jika ego dibalas dengan ego, sampai kapanpun takkan pernah ada ujungnya. Dengan berat hati salah satu dari mereka harus ada yang merelakan, dan Andin telah mengambil langkah terbaik. Terkadang, takdir yang Tuhan rangkai tidak sesuai dengan harapan kita. Tugas manusia hanya menjalaninya, meski setiap denyutnya penuh dengan kepahitan.

Viola menggenggam kedua tangan Andin yang terasa dingin hingga sepersekian detik selanjutnya tautan mata antara ibu dan anak itu berada pada satu garis lurus. "Maafkan Mommy, sayang. Meskipun semuanya sudah terlalu hancur untuk dirangkai kembali, Mommy berjanji akan berusaha untuk memperbaiki hubungan kita dan berusaha menjadi ibu yang lebih baik untukmu. Maukah kau memberi Mommy kesempatan?"

-The Healer-
Saturday, 06 May 2023
18:16

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian,
vote&comment yang banyak,
see u next chapter🪐

Your captain,
Aina.

The HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang