You can find me on ;
@ainaaprl – instagram
@aaaaprl – twitter∞∞∞
Shanleys Valley, Tasmania
07:30"Tuan Aldebaran belum keluar kamar sejak kemarin malam, Nyonya. Saya sudah mengantarkan makan malamnya, namun saya tidak tahu apakah Tuan sudah memakannya atau belum." Chris menoleh sekilas ke arah pintu. "Sepertinya, Tuan Aldebaran masih terpukul atas kejadian ini."
Nayara melakukan penerbangan di pagi hari ke Tasmania bersama Ardhan hanya untuk menemui putra sulungnya. Sepanjang malam hati kecilnya dibuat gusar lantaran memikirkan kondisi Aldebaran setelah mengetahui insiden yang baru saja menimpa Andin. "Apakah dia sudah meminum obatnya?"
Benzodiazepine adalah obat yang sedang mereka bicarakan. Penawar serangan panik paling ampuh yang kemarin Chris lihat tergeletak di atas meja kerja bosnya. "Saya bisa pastikan Tuan Aldebaran sudah meminumnya, Nyonya."
"Dia tidak meminta dr. Daniel untuk datang?"
"Saya sudah mencoba menawarkannya, tetapi Tuan Aldebaran menolaknya."
Nayara mengangguk paham, meski ia masih tak menyangka Aldebaran begitu bersikukuh mengatasi serangan paniknya seorang diri. "Chris. Menurutmu, apakah Andin masih bisa terselamatkan?" bukan hanya putranya yang Nayara khawatirkan, pikirannya juga tertuju pada sosok wanita yang begitu istimewa bagi Aldebaran.
Chris terdiam sejenak kemudian berujar pelan, "Saya tidak bisa menjaminnya, Nyonya. Kemungkinannya sangat kecil."
Sejujurnya, Nayara tak mampu membayangkan bagaimana kondisi Aldebaran nantinya bila harus kembali berada di masa sulit itu lagi. Dirinya tak sanggup menyaksikan bagaimana tersiksanya batin Aldebaran akibat rasa bersalah yang tak kunjung berakhir. Nayara sangat takut dengan semua itu.
"Kami beserta tim penyelamat akan berusaha semaksimal mungkin. Semoga hari ini Nona Andin dapat kami temukan dalam keadaan baik-baik saja." Dalam situasi ini, hanya harapan terbaik yang mampu Chris panjatkan.
"Keep fingers crossed. Baiklah, aku akan memeriksa keadaannya. Terima kasih banyak, Chris."
Setelah Chris pamit undur diri, Nayara menyeret masuk kakinya tanpa suara ke dalam kamar yang tidak terkunci lalu menemukan putra sulungnya tengah tertidur dengan sebuah long coat di pelukannya. Tubuh kokoh Aldebaran masih terbalut kemeja kerjanya, bahkan kaus kaki hitamnya pun belum terlepas.
Tangan kiri Nayara mengangkat tudung saji dan mendapati sepiring lasagna yang disajikan masih utuh, menandakan Aldebaran tidak menyentuhnya sama sekali. Nayara memposisikan dirinya di tepi kasur, memfokuskan perhatiannya pada garis wajah Aldebaran yang menunjukkan banyak sekali emosi terpendam.
"Selamat pagi."
Kalimat sapaan merdu yang menyambut Aldebaran berhasil mengembalikan seluruh kesadarannya. Lelaki itu mengerjap beberapa kali sebelum berangsur bangkit dan bersandar di kepala ranjang. "Sejak kapan Mommy datang?"
"Belum lama," balas Nayara seraya mempertahankan senyum simpul di bibirnya. "Mengapa kau tidak memakannya?"
Ekor mata Aldebaran mengikuti arah telunjuk sang ibu yang jatuh pada nampan makanan di atas nakas. "Aku tidak lapar." Usai menjawab, Aldebaran kembali menatap wanita di hadapannya. Dibalik sikap tenang yang sang ibu tunjukkan, dirinya jelas mengerti maksud dari kehadiran ibunya di sini. "Seharusnya ibu tidak perlu sampai datang kemari. Aku baik-baik saja."
Nayara mengangguk percaya, namun seperti kata pepatah, eyes speaks louder than words. "Mommy tahu. Namun setelah apa yang ibu lihat sekarang, matamu berbicara lain. Mungkin bibirmu bisa berbohong, tapi tidak dengan matamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Healer
RomanceAldebaran Juan Adytama baru menunjukkan batang hidungnya setelah beberapa tahun tinggal di Amsterdam. Kepulangannya itu membawanya pada sebuah pertemuan tak sengaja dengan Andin Abigail, wanita yang saat itu tidak sadar menjatuhkan id cardnya tepat...