You can find me on ;
@ainaaprl – instagram
@aaaaprl – twitter∞∞∞
Ketika malam tiba, Andin menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Hembusan napas berat beberapa kali terdengar keluar. Sepulangnya dari kedai kopi, Andin menyempatkan diri untuk mampir ke penthouse Aldebaran. Dan ternyata sudah lewat dari pukul sembilan malam, pria itu tak kunjung pulang.
Manik Andin bergulir ke arah ponselnya yang berada di atas nakas. Berharap setidaknya ada satu pesan atau panggilan dari lelaki menyebalkan yang membuat setiap sudut otaknya memikirkan berbagai kemungkinan, dari yang paling masuk akal hingga yang terburuk sekalipun.
Seperti tamparan keras untuk Andin ketika mengingat tentang keyakinan Joe akan Aldebaran. Ternyata hatinya sudah terlalu beku dan nyaris mati, sampai Andin tidak bisa meyakinkan dirinya sendiri bahwa Aldebaran adalah sosok yang perlahan membuatnya kembali merubah pandangan negatifnya kepada seorang pria.
Menyadari hubungan yang mereka jalani masih menggantung di awang-awang, membuat besar kemungkinan Aldebaran akan mencari perempuan lain yang dengan suka rela melempar dirinya ke pelukan pria dengan tampang nyaris sempurna itu tanpa perlu usaha ekstra menawarkan janji-janji manis. Sial. Andin benci dengan pikirannya sendiri.
Andin memilih membaringkan tubuh lelahnya ke atas kasur, dibanding melanjutkan keributan dengan pikiran negatifnya. Ia menarik napas panjang seraya menatap lurus langit-langit kamar dengan sorot mata sayu. Cukup lama Andin mempertahankan posisinya sebelum akhirnya memejamkan mata dan tertidur.
Di tengah keheningan malam, derap langkah seseorang memasuki satu ruangan. Temaramnya lampu yang mengelilinginya tak membuat manik tajamnya kehilangan arah pandang. Sosok itu berjalan lurus, kemudian terduduk di sisi ranjang. Netra cokelat gelapnya hanya terkunci pada raut indah penuh kedamaian yang tengah terlelap.
Sedangkan dalam tidurnya, Andin melenguh tak nyaman sesaat merasa ada yang sengaja mengganggunya. Andin mengerjap beberapa kali sebelum sebuah suara mengembalikan kesadarannya.
"Sayang...."
Andin berangsur bangkit dari tempat tidur, sesaat kelopak matanya telah terbuka penuh. Irisnya berhadapan langsung dengan pria yang tengah memberikan senyum menawan padanya.
"Hai, maaf aku membangunkan tidurmu."
Telapak tangan besar yang menyentuh kulit pipinya, membuat Andin menyadari bahwa ia tidak sedang bermimpi. "Ya, Tuhan! Kau sudah pulang? Kemana saja kau seharian ini? Mengapa menghilang tiba-tiba? Mengapa kau sulit dihubungi?" rentetan pertanyaan yang Andin simpan sejak pagi tadi akhirnya tercurahkan.
"Maaf aku tidak sempat memberimu kabar. Aku baru saja kembali dari Melbourne," tutur Aldebaran menjawab kebingungan yang menghantui kekasihnya.
"Tetapi kau baik-baik saja, 'kan?"
Hati Aldebaran menghangat ketika mengetahui gadis cantik di depannya ini mengkhawatirkan dirinya. "Aku baik-baik saja, sayang."
"Lalu mengapa kau pergi dengan terburu-buru? Apa yang terjadi?" Andin kembali mengajukan pertanyaan.
Aldebaran menghela napas. "Kantor cabang di sana sedang mengalami kendala, jadi aku harus membereskannya secara langsung." Sambungnya menjelaskan.
"Kau tidak melibatkanku lagi?" Andin memberikan penekanan di akhir kalimatnya.
"Kau baru saja pulih dari kram perutmu,"
"Ya Tuhan, aku sudah baik-baik saja!"
"Aku tahu, namun aku tidak ingin mengambil resiko jika nanti kau—"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Healer
RomanceAldebaran Juan Adytama baru menunjukkan batang hidungnya setelah beberapa tahun tinggal di Amsterdam. Kepulangannya itu membawanya pada sebuah pertemuan tak sengaja dengan Andin Abigail, wanita yang saat itu tidak sadar menjatuhkan id cardnya tepat...