40

1.7K 336 35
                                    

You can find me on ;
@ainaaprl – instagram
@aaaaprl – twitter

∞∞∞

     Rintik hujan yang jatuh membasahi bumi seolah sedang menggambarkan perasaannya. Andin tak mampu membayangkan betapa hancurnya Aldebaran ketika harus dipisahkan dengan separuh jiwanya dengan cara yang begitu tragis. Pukulan yang sangat melampaui batas di saat usianya masih sangat belia.

Sekarang, Andin mengerti mengapa lelaki itu tak menyukai sifat keras kepalanya. Mengapa lelaki itu tak bisa tertidur nyenyak jika tidak memeluknya. Dan mengapa lelaki itu begitu takut jika hal buruk menimpa orang terdekatnya. Saat ini Andin sudah cukup jelas untuk memahami semua yang pria itu lakukan padanya.

Andin kembali menimbang haruskah ia menemui Aldebaran? Atau sebaiknya ia beringsut mundur meski sejak beberapa menit yang lalu Andin telah berdiri tepat di depan ruangan yang sedari awal kedatangannya ke rumah ini sudah menumbuhkan rasa ingin tahunya.

Sesaat telapak tangan Andin menyentuh gagang pintu yang dingin, derap langkahnya menyelinap tanpa suara bersamaan dengan gerakan manik yang menelusuri setiap sudut ruangan yang di dominasi oleh warna putih. Bola matanya terhenti dan terpaku pada sosok yang tengah tertunduk lesu. Andin menghampiri lelaki tersebut dengan tenang walau helaan napas berat terus menerus keluar dari sela bibirnya.

"Maaf aku menyembunyikan semuanya darimu."

Andin mengerjap beberapa kali sesaat suara rendah Aldebaran memecah keheningan yang membungkus keduanya.

"Sekarang aku terlihat munafik di hadapanmu." Aldebaran menertawakan penyamaran yang selama ini ia lakukan untuk menutupi kelemahannya. "Sejak awal aku yang selalu memintamu untuk berdamai dengan diri sendiri, padahal kenyataannya aku juga masih terjebak dalam lingkaran rasa bersalah ini."

Berhadapan dengan situasi seperti ini, membuat Andin serasa bercermin. "You will be fine. Aku ada di sini untuk menemanimu."

Bola mata sendu Aldebaran menatap lurus gambar diri Anastasia yang terbalut bingkai putih serta dikelilingi beberapa lilin-lilin kecil. Gadis yang selalu menjadi pelabuhan terakhir Aldebaran untuk mencurahkan isi hatinya. "Aku sangat merindukannya. Andai dulu aku tidak kalah dengan egonya, mungkin semua ini tidak akan terjadi."

"Kita berada di posisi yang sama, Aldebaran. Kita adalah dua orang yang hidup dibalik topeng kepalsuan." Setelah kalimat itu terlontar, iris keduanya bertemu. Andin hanya mendapati warna kelabu yang menyelimuti manik cokelat lelaki itu. "Kita rela menyembunyikan penderitaan, menipu banyak pihak bahkan memanipulasi keadaan hanya untuk menenangkan orang-orang terdekat kita."

Aldebaran bergeming, semua pernyataan yang terucap dari wanita itu adalah kebenaran. Ia tak bisa mengelaknya dengan alasan apapun. Entah sampai kapan dan harus berapa lama lagi mereka hidup dalam kebohongan yang melelahkan ini.

"Aldebaran."

"Ya?"

Andin menelan salivanya dengan susah payah lalu berucap, "Bisakah kau membawaku bertemu dengannya? Itu pun jika kau berkenan, aku tidak memaksa."

Sudut bibir Aldebaran tertarik kecil, hari ini ia akan memenuhi janjinya pada Anastasia. "Kau sudah memintanya lebih dulu sebelum aku mengajakmu."

∞∞∞

Langit Sydney sore ini terlukis indah dengan hadirnya pelangi selepas hujan. Dua insan sedang berjalan beriringan dengan satu buket bunga yang berada di tangan Andin. Keduanya perlu berjalan kaki untuk mencapai area pemakaman keluarga Adytama yang jaraknya cukup jauh dari gerbang utama.

"Apakah kau ingat dulu aku pernah menghilang secara tiba-tiba selama seharian penuh?"

Andin yang mendapatkan pertanyaan tersebut, mencoba untuk menarik mundur memorinya. "Ya, aku mengingatnya."

"Hari itu adalah tepat tujuh belas tahun kepergian Anastasia. Aku datang kemari dari sebelum fajar hingga larut malam. Aku terlalu terbawa suasana hingga tidak menyadari jika aku telah mengabaikanmu. Bahkan saat kita bertemu, aku masih harus berbohong padamu. Maafkan aku." Sejujurnya Aldebaran merasa sangat bersalah, namun saat itu tak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain berdusta.

"Saat kau melarangku memasuki kamar Anastasia, aku sudah menaruh curiga jika kau menyembunyikan sesuatu dariku. Tetapi selama bersamamu, aku sama sekali tidak menemukan petunjuk. Kau menutupnya dengan sempurna."

"Aku hanya tidak ingin orang lain melihat sisi lemahku, terutama ibuku. Dia adalah satu-satunya alasan mengapa aku masih bertahan sampai detik ini," Aldebaran memiliki beribu alasan untuk menyudahi hidupnya, tetapi ia hanya butuh satu alasan untuk tetap hidup.

Pengakuan tersebut menggiring benak Andin untuk bertanya. Jika lelaki itu masih memiliki alasan untuk bertahan, lalu bagaimana dengannya? Yang saat ini Andin miliki hanyalah Bianca, Joe, Monic dan pria di hadapannya yang secara tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya tanpa permisi. Lantas, siapa di antara mereka yang menjadi alasannya?

"Kita hampir sampai," tutur Aldebaran, ketika netranya menyorot sebuah bangunan kecil bernuansa putih yang menutupi area kecil dengan lantai beralaskan rerumputan. "Kau siap?" saat tak kunjung menerima balasan, Aldebaran baru menyadari jika wanita di sisinya sudah tidak lagi bersuara setelah kalimat terakhirnya. "Andin. Kau baik-baik saja?"

Panggilan tersebut membuyarkan Andin dari lamunannya. Kala ia mendongak, raut wajah Aldebaran menyiratkan segaris kegelisahan. Andin lekas mengusap lembut lengan pria tersebut untuk menenangkannya. "Aku baik-baik saja. Aku hanya sedikit gugup."

Aldebaran meraih tangan kekasihnya kemudian menggenggamnya dengan erat. "Tenanglah, kau bersamaku." Mereka kembali melanjutkan langkah yang tersisa, hingga akhirnya tiba di depan pusara dengan bunga krisan yang tumbuh mengitarinya.

May God Rest Your Soul in Love,
Anastasia Noela Adytama.

"Hai, adik. Bagaimana kabarmu? Aku tahu ini sudah cukup lama, maaf aku baru berkunjung kembali. Tetapi kali ini aku tidak sendiri, aku datang dengan seseorang yang selalu kuceritakan padamu. Dia adalah sekretaris galak sekaligus wanita keras kepala yang aku cintai."

"Kau sungguh mengatakan keburukanku di depan saudara kembarmu?" keluh Andin tak terima.

"Lihatlah, Ann. Dia sudah melayangkan tatapan sinisnya padaku," tak ingin kekasihnya merajuk berkepanjangan, Aldebaran lebih dulu mengajukan permintaan maaf seraya mengecup punggung tangan Andin yang masih berada dalam genggamannya.

"Hai, Anastasia. Aku Andin. Aku tidak tahu apa yang pria menyebalkan dan pemaksa ini ceritakan tentangku, tapi senang rasanya bisa mengunjungimu. Aku membawakan beberapa tangkai mawar putih untukmu. Semoga kau menyukainya."

Selepas memanjatkan doa, mereka berpamitan dan beranjak pulang. Belum jauh melangkah, Aldebaran merasakan hembusan angin yang begitu menyejukkan. Sepersekian detik kemudian dirinya tertegun sesaat harum milik seseorang melintasi indra penciumannya. Tanpa keraguan, ia kembali menilik ke arah tempat peristirahatan tersebut.

Di titik manik Aldebaran tertuju, sosok yang selama belasan tahun menghilang dari pandangannya kini muncul dengan paras yang begitu menawan. Garis senyum anggun nan meneduhkan berhasil meluruhkan rona penuh kerinduan yang terbendung sejak lama. Semesta menghadirkan Anastasia untuknya.

Aku menemukan kebahagiaan untukmu di masa depan. Berhenti menyalahkan diri sendiri, aku sudah mendapatkan rumah yang indah di surga. Tuhan mempertemukan kalian untuk saling meyembuhkan dan menguatkan. Jadi, berjanjilah padaku jangan pernah meninggalkannya, karena aku akan marah jika kau berani melakukan hal itu.

-The Healer-
Saturday, 25 March 2023
17:37

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian,
vote&comment yang banyak,
sampai bertemu lagii🪐

Your captain,
Aina.

The HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang