5

2.2K 201 15
                                    

Awalnya, Dista akan mencari alasan agar ia dan Andrian tidak jadi jalan-jalan atau semacamnya. Tetapi ternyata Andrian lebih dulu sudah melihat gelagatnya. Bahkan Dista yang ingin berpura-pura sakit perut, sekarang malah terus diawasi oleh Andrian yang menyenderkan bahunya ke tembok, sedangkan tatapannya lurus memperhatikan Dista yang sedang menyisir rambutnya.

"An, a-aku nggak---"

"Lo nggak mau jalan-jalan? Sama gue?"

Mendengar pertanyaan dari Andrian, Dista segera menaruh sisirnya dan menggeleng. Ia menghampiri Andrian dan berdiri di depan laki-laki itu.

"Terus? Ini gue udah siapin mobil, masa lo nggak mau. Kalau papi tanya, pasti gue yang kena, Ta."

Dista jadi merasa bersalah kembali sekarang. Ia menunduk dan menatap lantai. Takut melihat wajah kecewa dari Andrian.

Andrian mendengus melihat Dista yang lagi-lagi akan menundukkan kepalanya apabila sedang ketakutan.

"Udah, kan? Ayo turun." Andrian langsung menggandeng tangan Dista untuk keluar kamar. Sedangkan Dista hanya mengikutinya dengan pasrah.

Kini keduanya sudah sampai ke bagasi mobil. Andrian langsung mengeluarkan mobil berwarna hitam itu dari dalam bagasi. Setelahnya, ia keluar dan membukakan pintu mobil untuk Dista. Dista yang tak pernah diperlakukan seperti itu, ia berusaha untuk menyembunyikan rasa senangnya.

Brakk

Andrian menutup pintu mobilnya dan ia langsung melakukan mobilnya meninggalkan halaman rumah.

Di tengah perjalanan, Andrian melihat raut wajah Dista yang tampak sangat senang. Apa gadis itu tak pernah jalan-jalan seperti sekarang sebelumnya?

"Ta," panggil Andrian membuka Dista menoleh.

"Iya, Andrian?"

Astaga, suaranya saja sangatlah lembut.

"Lo belum pernah jalan-jalan ... sebelumnya?"

Dista terdiam, lalu ia menggeleng sambil tersenyum. Tatapannya mengedar ke luar mobil, ke arah jalanan yang sangat ramai di jam-jam pagi seperti ini.

"Aku nggak pernah diijinkan untuk main dan keluar dari rumah panti. Kecuali ke sekolah, bahkan untuk mengikuti kumpul organisasi aja aku nggak boleh."

Andrian hanya mendengarkan cerita dari Dista saja, tanpa ada niatan untuk memotong. Menunggu gadisnya itu menyelesaikan ceritanya.

"Terus, suatu hari ... eh enggak, suatu malam maksudnya. Jadi suatu malam, aku ada acara bagi-bagi makanan ke anak panti juga. Tapi bukan di panti aku, si panti yang agak jauh dari panti ku."

"Itu acaranya bulan ramadhan dari organisasiku, aku ikut karena jadi panitia. Aku bilangnya habis magrib udah ada di rumah, tapi ternyata sampai jam delapan belum selesai acaranya. Akhirnya aku dijemput dan dimarahi sama ibu panti, dan dua hari nggak ditegur sapa."

Jika boleh jujur, sebenarnya Andrian ikut nyesek mendengar cerita dari Dista. Tapi saat ia menolehkan kepalanya dan melihat wajah Dista, gadis itu malah bercerita dengan sangat ceria. Walaupun Andrian tahu, mata Dista tak bisa berbohong.

"Terus ... lo gimana?" tanya Andrian.

Dista menatapnya. "Aku?" Dista menunjuk dirinya sendiri. "Aku nggak gimana-gimana, habis itu aku nggak berani untuk ikut kegiatan apapun. Oh iya, ini kejadiannya pas aku kelas sepuluh."

"Lo nggak ada niatan untuk kabur dan main secara diam-diam gitu?"

Dista menggeleng. "Dosa, Andrian. Aku nggak mau ibu yang sudah merawat ku kecewa kalau dia tahu. Tapi ...."

My Little PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang