1 bulan telah berlalu. Semenjak kejadian itu, Alini lebih memutuskan untuk tidak berpacaran dan fokus pada karir, sekolah, serta mencari keberadaan adeknya sendiri. Dia juga sudah bisa melupakan Andrian dan benar-benar bisa move on darinya. Alini bahkan sangat senang dan ikut bahagia ketika mendengar kabar bahwa Andrian dan Dista memilih untuk hidup sendiri di rumah yang dibelikan oleh kakeknya untuk keluarga kecil itu. Dengan dibantu satu pembantu dan satu sopir, Andrian bisa sedikit tenang apabila meninggalkan Dista di rumahnya untuk pergi ke sekolahnya. Angkatan Andrian dan Alini juga akan lulus dalam waktu 3 bulan ini. Sangat cepat sekali, bukan?
Saat ini, Alini sedang duduk santai bersama dengan sang mama. Obrolan yang awalnya hanya membahas tentang sekolah Alini, kini malah merambat ke adeknya sendiri.
"Ma, kalau adek masih ada, sekarang udah umur berapa, Ma?" tanya Alini kepada mamanya.
Alana menjawab, "SMP kelas tiga, sih, kayaknya. Tapi udahlaha, dia udah tenang di alam sana, Al. Harus diikhlaskan." Alana memang yakin bahwa anaknya yang satu itu sudah meninggal. Dan dia sudah benar-benar mengikhlaskan, begitupula dengan sang suami. Berbeda dengan Alini yang masih kepo.
"Nggak, Ma! Dia masih ada, Alini yakin itu."
Alana menghela napasnya, membiarkan Alini berspekulasi sendiri.
"Tapi ... Alini nggak tau harus nyari ke mana lagi," lanjut Alini dengan suara parau.
"Makanya, kamu fokus sama sekolah dan dunia model kamu, Al. Mama dengar, kamu bakalan ikut film yah? Film apa nih? Kok nggak bilang-bilang sama Mama?"
Ya, demi menyibukkan diri agar tidak keseringan nongkrong dengan teman-temannya, terutama teman Andrian, Alini memilih untuk ikut casting film. Dan dia diterima untuk debut di salah satu film pertamanya. Tidak mnejadi pemeran utama, tetapi menjadi pemeran antagonis.
Alini tersenyum sebagai tanggapan. "Pemeran antagonis, Ma. Keren nggak tuh?"
Alana tertawa mendengarnya. "Kamu nih. Sekalinya main film malah jadi antagonis, ada-ada aja."
"Nggak pa-pa lah, Ma. Alini bakat tau!"
Alana mengangguk-anggukkan kepalanya saja. "Iya-iya percaya kok."
"Em, Ma ...." Alini menggantungkan kalimatnya.
"Iya, apa?"
"Adek ada tanda lahir yang mungkin bisa dibuat petunjuk untuk pencarian nggak, Ma? Alini yakin dia masih hidup."
"Hem, tanda lahir yah?" Alana tampak berpikir. Mengingat-ingat tanda lahir yang dimiliki oleh anak gadis keduanya itu. "Em, ada-ada! Adek kamu punya tanda lahir di bahu sebelah kiri. Bentuknya hitam dan selebar uang koin lima ratusan."
Alini mengangguk tanda mengerti. Satu nama yang membuatnya kepikiran beberapa bulan terakhir. Tapi dia tidak dapat memastikannya. Memang takdir, atau hanya kebetulan saja.
"Alini ke kamar yah, Ma?" pamitnya yang hanya diangguki oleh Alana.
Alini kemudian berjalan menuju kamarnya dan memasukinya. Mengunci pintu kamar dari dalam dan segera mencari keberadaan ponselnya. Setelah ketemu, ia menghubungi seseorang.
"Halo?"
"Eh, Ga, boleh nggak gue ketemu sama cewek lo."
"Buat apa?"
"Emmm ...." Alini mondar-mandir, tiba-tiba ia kebingungan harus berkata apa. "Anu ... pengen aja."
"Nggak! Lo nggak punya alasan yang tepat!"
Alini meringis mendengarnya. Harusnya ia memikirkan kalimatnya terlebih dahulu sebelum menelpon.
"Lama. Gue matiin nih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Little Princess
Teen FictionDistya Widutami, siswi baru di SMA 7 Harapan yang harus kehilangan mahkotanya karena direbut paksa oleh Afiga. Dia marah, sedih, takut, semua perasaannya campur aduk. Dan satu lagi, orang yang bertanggungjawab atas kehamilannya bukan pelaku sesungg...