Hari ini, hari Selasa, Dista sudah diperbolehkan untuk pulang. Karena memang hanya semalam saja di rumah sakit, apalagi Dista juga nurut. Disuruh minum obat, yah mau, karena pikiran dia hanya satu 'harus bisa pulang besok'. Dista tidak mau Andrian harus mengikuti ujian susulan hanya karena dirinya.
"Kok ngelamun, Ta?" Andrian yang sedang membereskan pakaian nya, menjadi keheranan melihat Dista yang hanya diam dengan tatapan kosong.
Dista tak langsung menjawab, ia sendiri juga bingung kenapa tadi pikirannya tiba-tiba kosong.
"Andrian, maaf yah," ujar Dista membuat Andrian menghentikan kegiatannya. Ia menaruh tas besar itu, lalu berdiri di sebelah Dista duduk.
"Kenapa? Lo lagi pengen sesuatu?" tanya Andrian.
Dista menggeleng. "Nggak ada kok."
"Kenapa minta maaf? Lo nggak ada salah."
"Andrian harus ikut ujian susulan," gumam Dista menundukkan kepalanya. Kebiasaan yang sangat menjengkelkan bagi Andrian.
"Bosen gue dengernya. Dah, lo bisa jalan ke mobil nggak? Atau gue gendong, atau naik kursi roda aja?"
Lagi-lagi Dista menggeleng. "Dista bisa kok. Cuma jalan ke mobil, kan nggak jauh."
"Hem, oke deh. Ayo." Tangan kanan Andrian menggenggam tangan Dista, sedangkan tangan Kanannya membawa tas berisi pakaian itu.
Setelah membayar semua biaya administrasi, keduanya segera meninggalkan rumah sakit dan pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah mereka, keduanya langsung disambut oleh Hendra yang sangat khawatir mendengar Dista dibawa ke rumah sakit.
"Kenapa kamu nggak telpon Papi, Andrian?" Hendra berkacak pinggang.
"Cuma nginep satu malam kok, Pi. Dista udah nggak pa-pa, dianya emang bandel." Andrian melirik Dista.
"Nggak nggak! Bukan menantu Papi yang bandel, tapi kamu yang nggak bisa jagain istri. Dasar, cowok nggak bener!" cetus Hendra.
"Ih, Pi, anak sendiri loh ini!"
"Ayo, Dista, Papi sama mommy tadi beliin kamu oleh-oleh dari luar kota." Hendra malah mengajak Dista pergi dan meninggalkan Andrian yang masih berdiri sambil melongo.
Beberapa detik kemudian, laki-laki itu tersadar. "Kayak orang dongo gue!"
Ia memutuskan untuk pergi ke kamarnya saja.Andrian memasuki kamarnya, ia melemparkan tasnya ke atas ranjang. Melihat jam tangannya, 09:47. Tersadar kalau dia belum mandi, akhirnya Andrian memutuskan untuk mandi saja.
Di tempat lain, tepatnya di ruang tengah. Dista harus menyaksikan Hendra dan Sara yang heboh sendiri memilih-milih oleh-oleh yang mereka beli. Dista sendiri tidak mengerti kenapa mereka melupakan barang-barang yang 'katanya' mau diberikan kepada Dista.
"Kamu gimana, sih, Sar, kenapa bisa lupa naruhnya?!" Hendra sudah sangat kesal, ia sendiri juga tak tahu, Tote bag mana yang isinya perlengkapan bayi. Memang, terlalu banyak Tote bag disini.
"Kenapa kamu marahnya ke aku, sih, Mas? Lagian kalau misalkan nggak usah dikasih ke dia, nggak masalah, kan? Toh cuma oleh-oleh, nggak dapet oleh-oleh juga harusnya nggak berharap."
"Bukan Dista yang berharap, Sar, tapi aku yang janji sama dia."
"Halah, sama aja!" Sara mendekat ke arah Dista. "Kamu nyusahin banget, sih?! Pakek acara pingsan, terus harus dirujuk ke RS. Kamu pikir, biaya di rumah sakit nggak pakek uang, gitu?!"
"Sar, kenapa malah marahin Dista, sih?!" Hendra menghampiri Sara. "Dista, itu ada dua Tote bag, kamu ambil, isinya perlengkapan bayi."
Dista mengangguk ragu-ragu. "Makasih, Papi."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Little Princess
Fiksi RemajaDistya Widutami, siswi baru di SMA 7 Harapan yang harus kehilangan mahkotanya karena direbut paksa oleh Afiga. Dia marah, sedih, takut, semua perasaannya campur aduk. Dan satu lagi, orang yang bertanggungjawab atas kehamilannya bukan pelaku sesungg...