10

2K 174 3
                                    

Diam di kamar seharian? Tentu sangat membosankan, bukan? Pasti rasanya monoton, itu-itu aja, nggak ada kegiatan kecuali rebahan sambil main hp dan nonton tv. Dan inilah yang dirasakan oleh Dista. Rebahan sambil main hp, kalau bosan ganti nonton tv, bosan lagi, main hp lagi, bosan main hp–gitu saja seterusnya.
Dista tak tahu harus berbuat apa selain rebahan. Masa iya senam? Di siang bolong seperti sekarang ini?

Dista ingin turun, mengintip kegiatan Sara, Andrian, dan juga Alini di dapur. Tapi ia takut, bukan takut kena marah. Melainkan takut dia menangis. Karena entah kenapa, akhir-akhir ini ia terlalu sering menangis. Apa yang menurutnya sedih, maka ia akan menangis. Walaupun terkadang Dista sadar kalau jatuhnya malah lebay.

Dista mengeluarkan ponsel yang diberikan oleh Andrian. Jujur saja, walaupun ponselnya sendiri android, sedangkan ponsel yang diberikan Andrian iPhone, tapi Dista lebih nyaman menggunakan ponselnya sendiri. Yaa, walaupun tak secanggih ponselnya, tentunya.

Dista mengutak-atik ponselnya, ia tiba-tiba merasa sangat haus. Melirik meja di sebelahnya duduk, ternyata air putih yang dibawakan oleh Ita sudah habis. Dan ia sangat haus, sekali lagi. Dista mengelus perutnya. Bukan untuknya, tapi untuk anaknya.

"Nggak pa-pa deh, pura-pura aja nggak tau," gumam Dista.

Karena ia bukannya tidak tau, kan? Dista mengetahui semuanya. Namun ia akan pura-pura tidak tahu saja.

Akhirnya, Dista memutuskan untuk keluar kamar saja. Saat menuruni tangga, ia sudah mendengar suara tawa dan perbincangan yang sangat ramai di dapur. Ia tebak, pasti Ita dan pembantu lain di rumah ini juga ikutan memasak di dapur.

Tanpa sadar, Dista bergumam. "Masak apa dari tadi pagi belum selesai-selesai."

Ceklek

Baru saja Dista turun ke lantai satu, Afiga memasuki rumahnya. Membuat Dista ketakutan, bayang-bayang saat Afiga jahat kepadanya mulai terlintas di benaknya. Dengan langkah tergesa-gesa, Dista kembali menaiki anak tangga dan berlari memasuki kamarnya. Tepat saat Afiga berjalan melewati kamarnya, Dista mengintip dari bolongan kunci. Dan ia melihat kalau Afiga berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Jantung Dista berdetak lebih kencang, ia membekap mulutnya sendiri agar tidak menimbulkan suara. Dengan langkah perlahan, tangan Afiga tampak hendak membuka pintu kamar itu dari luar. Tentu saja Dista sangat panik. Ia mengunci pintunya sehingga, disaat Afiga mencoba untuk membuka pintunya, tak bisa.

Dista baru bisa bernapas lega saat Afiga meninggalkan area kamarnya. Ia tak langsung membuka pintu dan memilih untuk kembali ke kasur saja.

Tok tok tok

Tubuh Dista mematung. Siapa lagi itu? batinnya. Ia menggelengkan kepalanya.

"Nggak nggak, pasti itu dia. Aku nggak mau buka." Dista meneruskan langkahnya untuk duduk di kasur.

Dan baru saja mendudukkan tubuhnya, ia mendengar suara Andrian yang memanggil.

"Ini gue, buka pintunya!"

Senyuman Dista mengembang. Ia segera berlari dan membuka pintu kamar.

"Ngapain senyum?" tanya Andrian.

"Eh---" Dista menggaruk lengannya. Ia menjauh dari pintu agar Andrian bisa masuk.

"Gue mau keluar sebentar," tutur Andrian. Laki-laki itu berjalan ke arah meja lalu mengambil kunci mobil.

"Aku ikut ...."

Andrian menatapnya, Dista meringis pelan. Apa yang sudah ia katakan? Pasti Andrian marah, pikirnya.

Andrian menggeleng. Tuh, kan! Sudah Dista duga.

Andrian menghampiri Dista. "Lo di rumah aja, gue sebentar kok."

My Little PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang