34

1.3K 107 17
                                    

Kini Andrian, Hendra, Sara, dan Dista sedang berada di depan UGD. Menunggu dokter yang menangani Afiga keluar. Dista sedari tadi menangis dalam pelukan Andrian. Sedangkan Andrian terus menenangkan wanitanya itu.

"Ta, udah, Afiga pasti baik-baik aja kok," ucap Andrian dengan lembut. Tangannya mengelus kepala Dista yang bersandar di dadanya.

"Nggak! Kenapa tadi kamu nggak bantuin dia?" Dista mendongak menatap wajah Andrian.

Andrian menghela napasnya. "Maaf." Hanya satu kata itulah yang keluar dari mulut Andrian. Dista tak puas, tapi suara dia sudah serak kebanyakan menangis. Jadi, dia memutuskan untuk memejamkan matanya saja, kepalanya juga terasa sangat pusing.

Sara melirik Dista dengan sinis. "Modus banget jadi cewek!" cetusnya membuat Hendra mendelik ke arahnya. Andrian juga memberi kode Sara dengan cara menggelengkan kepalanya.

"Udah deh kalian nggak usah belain dia! Gara-gara dia, keluarga kita dapet masalah!" Sara mengeluarkan isi kepalanya selama ini. Memang menurutnya, Dista adalah pembawa sial.

"Sara! Ini di rumah sakit, jangan buat ulah lagi!" peringat Hendra.

Sara mendengus kesal. "Kalau bukan karena dia, Andrian nggak akan kena masalah." Suaranya sedikit mengecil sekarang. Ia menatap ke arah lain, tak sudi melihat Dista yang masih dipeluk Andrian.

"Kamu lebih baik pulang sana! Daripada nyerocos terus!"

Sara melotot tak terima kepada suaminya. "Kamu ngusir aku?!" Hendra mengangguk membuat Sara semakin kesal. Ia menghentakkan kakinya dan pergi meninggalkan tiga orang itu.

Hendra akhirnya bernapas lega. Ia mendekat ke arah Andrian dan duduk di sebelah laki-laki itu.

"Mungkin Papi keterlaluan sama Afiga. Tapi Papi sangat kecewa sama dia. Karena dia, anak Papi kena imbasnya." Hendra menepuk pundak Andrian. "Tapi Papi nggak seperti mommy kamu. Papi akan terus dukung kamu untuk menjaga Dista." Hendra melirik Dista yang ternyata sudah terlelap dalam dekapan Andrian.

"Jangan sampai melepaskan Dista kepada Afiga. Dia sangat jahat."

Andrian mengangguk. "Baik, Pi."

Hendra berdiri, ia kemudian menepuk pundak Andrian dua kali. "Papi ngejar mommy kamu dulu yah. Kalau ada kabar tentang Afiga, kabarin Papi juga."

Andrian tersenyum. "Oke, Pi. Hati-hati."

Setelah Hendra pergi, tinggallah Dista dan Andrian saja. Dia melihat wajah Dista yang tampak sangat kelelahan.

"Capek banget yah, Ta?" Andrian semakin mengeratkan pelukannya. Dia bingung harus diapain, maksudnya tubuh Dista pasti akan sakit akibat tidur dengan posisi duduk seperti saat ini. Tapi ia juga tak tahu harus membawanya kemana. Dista juga pasti tidak akan mau dibawa pulang jika belum mendengar kabar tentang Afiga.

Andrian merenung, dia kecewa kepada Alini. Bukankah gadis itu sendiri yang mengatakan kalau dia sangat mendukung hubungannya dengan Dista? Lalu kenapa sekarang malah mengadukannya? Andrian mengerang menahan emosi, mengepalkan tangannya. Ketika tanpa sengaja melihat wajah tenang Dista, ia bisa mengendalikan emosinya kembali. Demi Dista, ia sangat tak tega melihat wajah polos Dista. Wanita itu tidak seharusnya mendapat nasib seperti ini.

"Permisi."

Lamunan Andrian buyar ketika seorang dokter laki-laki sudah keluar dari UGD. Andrian tak berdiri, dia hanya menatap sang dokter. Dokter tersebut juga paham.

"Bagaimana keadaan saudara saya, Dok?" tanya Andrian.

Sebelum menjelaskan, dokter itu menarik napasnya dalam-dalam. "Lukanya cukup parah. Luka pukulan, tendangan di perutnya juga mengakibatkan dia akan mengalami sakit perut berkepanjangan. Di kepala bagian sebelah kiri juga mengalami luka, syukurnya tidak sampai mengalami kebocoran." Penjelasan sang dokter panjang lebar.

My Little PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang