37

1.3K 103 12
                                    

Andrian sampai ke rumah Alini. Ia kini sedang duduk di sofa ruang tamu rumah tersebut sembari menunggu si tuan rumah. Tadi pembantu Alini masih memanggilkan Alini ke kamarnya. Andrian hanya memainkan ponselnya, ia melihat room chat bersama dengan Dista. Dan ternyata nomer wanita itu sedang offline. Andrian menduga bahwa istrinya pasti sedang tidur, apalagi ketika ia melihat jam, sudah menunjukkan pukul 12 lebih.

"Andrian ...."

Andrian mendongak dan tatapannya bertemu dengan mata Alini. Ia segera memasukkan ponselnya ke saku jaketnya.

"Ada apa?" Alini tampak kaku, ia duduk dengan perlahan di sofa yang bersebrangan dengan Andrian. Pikiran gadis itu langsung tertuju pada ucapan Andrian beberapa waktu yang lalu.

"Langsung aja, gue mau tanya sama lo. Ada hubungan apa lo sama Afiga?" tanya Andrian membuat Alini mendelik kaget.

"Maksud lo? Gue bahkan nggak pernah chattingan sama dia," jawab Alini.

Andrian meringis pelan, dia salah tanya dan pertanyaannya kurang jelas. "Maksud gue, lo sama Afiga kerja sama buat hancurin rumah tangga gue?"

Lagi-lagi Alini dibuat menggeleng tak percaya dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Andrian.

"An, lo seriusan nuduh gue yang nggak-nggak? Please ... sebenernya ini ada apa? Gue bahkan nggak tau apa-apa. Gue nggak tau apa yang sedang terjadi."

"Jangan bohong lo, Al! Lo pasti masih berharap sama gue, kan?!" Suara Andrian meninggi.

Sedangkan Alini hanya bisa terdiam tak percaya dengan wajah emosi yang ditampilkan oleh Andrian.

"Oleh karena itu, lo sama Afiga kerja sama buat pisahin gue dan Dista. Dengan begitu, lo bisa dapetin gue, dan Afiga bisa dapetin Dista. Gitu?!!"

Tanpa disuruh, air mata Alini mengalir begitu saja. "An, lo kenapa bisa punya pikiran kayak gitu? Demi Tuhan, gue bahkan nggak tau apa-apa. Lo beneran nuduh gue?"

Andrian mengangguk cepat. "Karena cuma lo yang bisa dituduh sekarang. Siapa lagi yang punya hubungan sama gue dan Dista sebelumnya? Lo sama Afiga, kan?"

"TAPI BUKAN BERARTI GUE SETEGA DAN SEGILA ITU!" Alini membentak. Ia bahkan menggebrak meja yang berada di depannya membuat Andrian sedikit kaget tak percaya.

"Lo bahkan belum jelasin apa yang terjadi, Andrian. Gue ..." Alini menundukkan kepalanya, ia memejamkan matanya menahan air mata agar tidak terus mengalir. Ia meredakan emosinya sejenak.

"Gue ... mommy tau kalau anak yang dikandung Dista itu, bukan anak gue."

"APA?!" Alini kembali mendongak dengan wajah sangat terkejut. "Lo seriusan? Terus ... jadi ini yang bikin lo marah-marah dan nuduh gue?"

Andrian mengangguk. "Siapa lagi yang harus gue tuduh, Al. Cuma lo yang tau masalah ini. Dan ..." Andrian menggantung kalimatnya.

"Kenzi sama Ifan. Bahkan Kenzi yang ngasih tau gue, kan?"

Andrian mengangguk mendengar perkataan Alini.

"Sherly juga kayaknya," ujar Andrian. "Dia ada di rumah sakit pas Afiga masuk UGD semalem."

"Jadi ...." Alini menganga tak percaya.

Andrian mengangguk sekali lagi. "Dipukulin papi sampe pingsan. Gue sebenernya nggak tega. Tapi ... dia malah tersenyum penuh kemenangan dan bilang kalau dia sama Dista bakalan bersatu. Disitu gue emosi, lo sendiri, kan, yang nyuruh gue buat mencoba buka hati untuk Dista?"

"Iya, Andrian. Lo harus!"

"Hem, gue udah sayang sama dia. Tapi Afiga dengan liciknya mau rebut Dista dari gue!" Emosi Andrian kembali mengingat ucapan Afiga semalam. Ingin rasanya ia memukul laki-laki itu, tapi melihat Dista kembali, ia menjadi tak tega. Bukan kepada Afiga, tapi tak tega kepada Dista.

My Little PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang