Afiga masih duduk termenung di sofa ruang tamu. Sudah seperti seorang tamu yang sedang menunggu si tuan rumah. Ia masih memikirkan ucapan Alini tadi siang.
"Lo masih dendam dan iri sama Andrian, atau lo udah sadar kalau sesuatu yang seharusnya menjadi milik lo, malah menjadi milik Andrian?"
Afiga baru sadar sekarang. Perkataan Alini menyatakan, seolah-olah Alini mengetahui bahwa Afiga lah yang memfitnah Andrian. Dan Dista hamil anak Afiga, bukan Andrian. Tapi ... siapa yang mengatakan kepada Alini? Karena setahu Afiga, Alini tidak mengetahui hal itu. Bahkan hanya kedua teman Andrian saja yang mengetahuinya, apa mungkin Kenzi dan Ifan?
"Eh, Andrian!" Afiga berdiri dan menghadang Andrian yang baru saja memasuki rumah.
Andrian menghentikan langkahnya dan menatap Afiga dengan datar, bukannya berprasangka buruk, namun Afiga setiap berbicara dengannya selalu ngajak gelud.
"Gue mau tanya sama lo, apa Alini udah tau kalau bukan lo yang menghamili Dista?"
Andrian tak bisa menjawabnya, ia hanya diam dan tatapannya menjadi bingung, heran, juga khawatir. Apa maksud Afiga?
"Maksud gue, Alini udah tahu kalau anak itu bukan anak lo." ucap Afiga seolah-olah mengetahui isi kepala Andrian.
"Lo tau dari mana, Ga?" tanya Andrian mulai membuka suara.
"Lo jangan tanya gue, tanya sama temen-temen lo itu." Setelahnya, Afiga pergi meninggalkan Andrian yang masih diam mematung.
"Al ...."
Andrian mengeluarkan ponselnya dan segera menghubungi nomer Alini.
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif
Andrian berdecak kesal. Satu-satunya harapan adalah kedua temannya, Kenzi dan Ifan. Hanya mereka berdua yang mengetahui hal ini setelah Afiga dan dirinya. Andrian cepat-cepat bergegas keluar rumahnya. Ia berniat untuk pergi ke rumah Sherly, biasanya mereka berdua jam segini sedang asyik nongkrong di rumah Sherly. Sebelum itu, Andrian menyempatkan diri untuk mengirimi Dista sebuah pesan.
Distayang ♥️
Gue keluar sebentar.
Kunci pintu sampai gue balikTak menunggu balasan dari Dista, ia segera melajukan motornya meninggalkan pekarangan rumah.
Berbeda tempat, Afiga memasuki kamarnya dengan wajah lelah. Dia memilih untuk meninggalkan Leola sendirian di kamar apartemennya dan pulang ke rumah saja. Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, tatapannya tertuju ke langit-langit kamar.
Afiga tidak sepenuhnya menyesal, namun ia juga tidak akan seenaknya seperti sebelum-sebelumnya. Bukan karena mendengar cerita Leola, tapi beberapa malam terakhir ini ia selalu bermimpi hidup bahagia bersama dengan Dista. Dan mimpi itu selalu menyambung dengan mimpinya di malam-malam berikutnya. Sampai-sampai Afiga takut untuk memejamkan matanya dan berakhir begadang semalaman.
"Gue harus apa?" gumamnya. Berkali-kali mengambil napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Pertanyaan-pertanyaan terus saja muncul di benaknya. Seperti, sedang apa Dista? Apa wanita itu memikirkan dirinya? Apa juga memikirkan nasib anaknya kelak, karena belum tentu rahasia sebesar ini akan disembunyikan selamanya. Atau, apa Dista membencinya?
Dan untuk pertanyaan terakhir, Afiga menjawabnya sendiri dengan lantang 'Iya!'. Dista pasti membencinya. Membenci orang yang telah menghancurkan masa depannya, membenci orang yang telah merusaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Little Princess
Teen FictionDistya Widutami, siswi baru di SMA 7 Harapan yang harus kehilangan mahkotanya karena direbut paksa oleh Afiga. Dia marah, sedih, takut, semua perasaannya campur aduk. Dan satu lagi, orang yang bertanggungjawab atas kehamilannya bukan pelaku sesungg...