Sembilan

5.3K 228 1
                                    

Norah menatap bayangannya di cermin. Dia terlihat menyedihkan dengan warna gelap di bagian bawah matanya. Semalam dia kesulitan untuk tidur, karena sibuk memperhatikan ponselnya dan menantikan pesan dari Warren. Hingga dia bangun dari tidurnya, tidak ada satupun pesan dari pria itu.

 Sungguh, pria itu tidak berperasaan sama sekali. 

"Tumben sekali kamu bangun sepagi ini." Kakek merasa aneh melihat cucunya bangun sepagi itu. Biasanya, dia akan bangun setelah Bernadeth atau asistennya datang membangunkannya. 

"Aku tidak bisa tidur." Katanya. 

"Ya. Kau sangat gelisah memikirkannya,  sampai kau tidak bisa memejamkan matamu." Ucap Kakek Jail. 

"Aku tidak punya waktu untuk memikirkan orang yang mengabaikan ku!"

Norah melangkah ke dapur, dia mengambil segelas air dingin meneguknya sampai habis. Dia masih punya banyak waktu untuk tidur, jika dia mau. Pagi itu Norah memutuskan untuk lari pagi di sekitaran kompleks perumahannya, ia akan mengisi waktu kosongnya daripada sibuk menunggu pesan dari Warren. 

"Warren memberikan dampak yang baik saat dia mengabaikan mu. Kakek sampai lupa, kapan terakhir kali kamu pergi berolahraga." 

"Kakek mau ikut jogging dengan ku?" ledek Norah. 

Kakek mendengus. "Kau meledek Kakek mu yang sudah tua ini?" 

Norah tertawa. "Sebaiknya, sekarang Kakek bersiap-siap untuk pergi check up."

Norah berlari mengelilingi kompleks perumahannya sambil mendengarkan lagu melalui earphone yang menyumbati kedua telinganya. Sialnya, saat berlari ia pun masih memikirkan Warren, dia ingin segera kembali ke rumahnya dan mengecek ponselnya. Dia berharap sudah ada balasan dari Warren.

"Astaga, belum sampai sepuluh menit, kau sudah kembali." Kakek sedang menikmati secangkir kopi sambil menonton acara favoritnya di pagi hari. 

"Napas ku terasa sesak." Jawabnya. 

"Sesak karena tak kunjung ada kabar darinya?" Walaupun sudah tua, Kakek sering sekali menggoda Norah dan tak ada batasan sama sekali antar keduanya. 

Norah ke kamarnya dan mengecek ponselnya. Tidak ada pesan dari Warren. Hal itu yang membuatnya semakin frustasi. 

"Aku akan membalas semua perlakuan mu padaku! lihat saja, betapa berbahayanya aku saat aku mengabaikan mu."

***

"Che bella, quanto devo pagare? (Bagus sekali! Berapa aku harus membayarmu?)"

Seorang pria tua, mengenakan topi pork pie warna hitam. Ia berdiri di balkon rumahnya yang luas sembari menatap dua buah mobil hitam yang meninggalkan pekarangan rumahnya. Dia sangat bahagia mendengar kabar baik yang ia terima saat itu. 

Pria tua itu tertawa bahagia, lalu menoleh menatap Warren yang sedang duduk dengan kedua kaki terangkat di meja sambil menikmati sebatang rokok, dan duduk membelakangi pria tua itu. 

"Kau tidak perlu membayarku ..." katanya tanpa menatap pria tua itu. Warren tersenyum tipis dan mematikan rokoknya. "Aku mau kau membebaskan Paolo."

Mendengar permintaan Warren, pria tua itu tertawa. Dia menertawakan permintaan Warren.

"Kau ingin aku, membebaskan Paolo? Orang yang sudah membunuh 20 anggota ku?" Ia memastikannya. "Aku tidak akan melakukannya. Aku tidak akan membebasakan pembunuh brutal itu."

Warren tertawa mendengar ucapan pria itu.

"Kau lebih brutal dari Paolo. Kau sudah membunuh ratusan orang melalui perintahmu," Warren mematikan rokoknya, memakai kacamata hitam andalannya dan menutupi wajahnya dengan Buff. Dia  berdiri dan menghampiri pria itu. Selama beberapa saat keduanya berdiri berhadap-hadapan dengan tatapan tajam.

The Name Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang