Dua Puluh Delapan

1.6K 63 0
                                    

Langit masih gelap, suara gemuruh dan perpaduan ranting pohon terdengar, dan saling bersahutan dengan suara Norah yang meminta Warren untuk tetap bersamanya atau dia ikut pergi bersama pria itu.

"Kau akan pergi dan membiarkanku tinggal sendirian disini?" tanya Norah. Dia ngotot ingin pergi dengan Warren. "Aku akan ikut dengan mu, aku akan membantumu untuk menyelamatkan Allessa." Tahan Norah.

"Kau tidak akan sendirian. Sebelum matahari terbit, akan ada orang yang akan menemanimu sampai aku kembali."

"Siapa? Dia bagian dari kelompok mafia mu?" tanyanya sinis. "Aku tidak mau! aku mau ikut!"

"Kalau kau ikut, salah satu diantara kita akan mati. Entah kau, aku ataupun Allessa."

Norah diam sebentar. "Tetapi aku ingin membantu."

"Tetaplah disini, jangan pergi kemanapun sampai aku kembali. Kau sudah membantuku dengan cara itu."

Warren menatapnya, dia tidak ingin meninggalkan Norah di tengah hutan seperti itu, namun dia harus melakukannya demi keselamatan Norah.

Warren pergi bukan untuk menyelesaikan tugas yang di berikan William ataupun pria misterius yang selama ini membuatnya menjadi pembunuh. Warren pergi untuk menyelamatkan Allessa tanpa harus mengikuti perintah yang di berikan padanya.

Pagi itu, Warren pergi ke sebuah kompleks perumahan tua dan kumuh. Langit tampak gelap, jalanan yang di lewatinya masih basah karena semalaman di guyur hujan. Warren melangkah pelan sambil melihat sekelilingnya, beberapa orang terlihat tidur di depan sebuah bangunan tua.

"Hati-hati ... " katanya, ketika seorang anak kecil menabraknya dan hampir terjatuh.

Anak kecil itu mengangkat wajahnya dan tersenyum pada Warren, dia menyuruh Warren untuk pergi ke sebuah salon yang sudah terlihat dari pandangannya.

Warren mengikuti apa yang di katakan oleh anak kecil itu. Dia berhenti di depan sebuah salon, dimana bagian depan salon itu sudah habis terbakar. Seorang perempuan paruh bayah, mengenakan celemek dan memegang sapu menghampiri Warren.

Dia menatap Warren sangat lama.

"Aku ingin bertemu tuan mu."Katanya.

Perempuan itu menyuruhnya masuk dan melewati sebuah lorong kecil yang gelap dan tercium aroma bau busuk.

"Masuklah." Kata perempuan itu, ketika mereka tiba di depan sebuah pintu. Dia membukakan pintunya dan suasana yang ada di dalam ruangan itu berbanding terbalik dengan tampilan depan salon dan aroma bau busuk yang dia cium.

Ruangan itu tampak luas dan di isi oleh barang-barang mewah.

"Kau sudah datang? Tuan sudah menunggumu."

Warren menoleh begitu mendengar suara seorang pria menyapanya. Pria itu kembali membawa Warren ke sebuah ruangan. Ruangan ini tak kalah luas dari ruangan yang sebelumnya. Di ruangan ini, ada beberapa komputer dan sebuah layar besar di depannya.

Dua orang pria kembar duduk di depan layar besar itu sambil menggerakan tangan mereka dengan lincahnya diatas keyboard.

"Aku sudah melihat tampilan bangunannya." Seorang pria tua menggunakan coat warna hitam dengan topi peaky blinders  warna hitam. Dia duduk di sebuah bangku, kedua kakinya di letakan di atas meja. Pria tua itu menatap Warren sambil menghisap rokok cerutunya.

Salah seorang pria kembar menghampiri pria tua itu dan membisikan sesuatu padanya.

"Dia sedang di Indonesia? Kebetulan sekali, katakan padanya kalau ini tugas yang penting." Kata pria tua itu.

The Name Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang