Tiga Puluh Tiga

1.4K 55 0
                                    

Norah terbangun karena kedinginan dan suara hembusan angin yang begitu kencang. Ia Warren yang tertidur lelap di sampingnya. Pelan-pelan ia beranjak dan menyalakan kembali tungku api yang sudah hampir padam.

Norah menggerakan badan dan tangannya yang terasa sakit, kepalanya pun terasa nyeri namun ia mengabaikannya.

Kehidupan yang dia jalani selama ini sungguh berbanding terbalik dengan kehidupannya sekarang. Ia harus terbiasa tidur hanya beralaskan kayu, kedinginan, makan seadanya, melakukan pekerjaan yang sebelumnya tidak pernah dia lakukan serta perjalanan yang sesungguhnya sangat melelahkan, namun ia bisa melaluinya karena Warren. Ia mendapatkan banyak sekali pengalaman selama bersama Warren.

Berhari-hari di hutan, ia mulai merindukan Kakeknya, Eve, Bernadeth serta teman-temannya yang selama ini berada di sampingnya. Ia mulai merindukan hari-harinya yang dulu.

"Aku ingin kembali, tetapi bagaimana dengan Warren?  Saat ini dia masih menjadi incaran sekelompok mafia. Jika aku kembali, artinya aku tidak akan bertemu dengannya." Ia memikirkan segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika mereka kembali.

Norah menoleh mendengar suara Warren mengerang pelan. Dia menghampiri Warren menatap wajah tampannya yang terlihat sangat lelah.

Apa yang di alami Norah saat ini, tak sebanding dengan apa yang alami Warren dan Allessa.

Norah tersenyum saat Warren membuka matanya.

"Apa aku menganggu tidurmu?"

"Tatapanmu menyuruhku untuk bangun." Jawab Warren.

"Lanjutkan tidurmu, aku ingin menatap wajahmu lebih lama."

"Kau bisa melakukannya bahkan saat aku terbangun," Warren menarik Norah kedalam pelukannya. "Tanganmu terasa dingin." Dia menyusupkan tangan Norah ke balik jaketnya.

Norah merapatkan tubuhnya dengan tubuh Warren, merangkul tubuh pria itu dengan erat.

"Kau yang menyalakan apinya?"

"Kenapa? Kau mulai kagum pada kemampuanku?"

Warren terkekeh pelan.

"Kau tau, sebentar lagi aku paham bagaimana cara berburu dan menjelajah hutan sendirian. Aku sedang membayangkan seperti apa kehidupan kita jika nanti kita tinggal di hutan, saat kau sedang pergi berburu, aku akan menunggumu di rumah."

"Apa yang akan kau lakukan di rumah jika aku sedang pergi berburu? Kau tidak takut jika aku meninggalkanmu sendirian di hutan?"

Norah menggelengkan kepalanya. "Aku akan teebiasa dengan kehidupan seperti ini," katanya, lalu ia melanjutkan. "Aku akan bertani dan menyiapkan makan siang untukmu. Sesekali aku akan ikut berburu denganmu."

"Mari kita lakukan." Kata Warren sambil tersenyum. Dia mengiyakan semua yang di katakan Norah walau ia yakin hal itu tidak akan terjadi. Ia tau, saat ini Norah sedang merindukan kehidupannya yang dulu. Ia ingin kembali ke Kota. Warren tau tatapan sedih yang di tunjukan Norah ketika Allessa pamit dengannya, tatapan Norah ingin mengatakan dia juga ingin ikut dan meninggalkan hutan.

"Tetapi, aku akan merasa kasihan jika kita mempunyai anak dan dia harus menjalani hari-harinya di hutan." Dia menarik napas panjang.

"Kau sudah berpikir sejauh itu?"

"Kelak, aku mau anak kita setangguh Catarina, tetapi aku tidak ingin dia hidup di hutan."

Warren menatap wajah Norah dengan senyuman lebar di wajahnya. Seandainya saja semua masalah yang sedang dia hadapi menghilang secara ajaib dia akan sangat bahagia menjalani hubungannya dengan Norah.

"Aku tidak ingin perjalanan ini selesai, tetapi aku sangat merindukan Kakek dan Eve. Aku merindukan kehidupanku yang dulu." Kata Norah jujur.

"Apakah aku boleh menjadi pria egois hanya untuk beberapa hari ke depan? Aku mau kau menahan rasa rindumu karena aku ingin menghabiskan hari-hariku denganmu. Selama ini kita tidak pernah menikmati hari berduaan seperti ini. Aku tidak akan melarangmu untuk pergi setelah kita melakukan perjalanan ini." Kata Warren.

Norah menatap Warren sangat dalam, lalu kembali mengeratkan pelukannya. Dia juga tidak ingin perjalanan mereka berakhir dengan cepat, namun rasa rindu pada keluarganya semakin dalam.

"Kau mau melakukannya untuk ku selama beberapa hari ke depan?" Tanya Warren. Ia tau ia sangat egois, namun keberadaan mereka di hutan lebih nyaman daripada saat mereka kembali ke kota. Warren ingin menghabiskan waktunya lebih lama lagi dengan Norah.

Norah menganggukan kepala. "Aku akan sibuk begitu aku kembali. Aku harus memberitahu semua orang, kemana aku pergi selama ini."

"Karena aku tau kau akan sibuk, makanya aku ingin menghabiskan banyak waktu denganmu. Apa yang akan kau katakan saat kau kembali?"

"Aku akan memberitahu mereka semua, kemana aku pergi, pengalaman indah seperti apa yang aku dapatkan saat aku berpetualang dengan calon suamiku."

Warren tersenyun mendengar ucapan Norah.

"Calon suami?" Ulangnya sambil menggoda Norah.

"Kau tidak mau?"

"Siapa yang bisa menolakmu?" Warren melayangkan ciumannya ke bibir Norah dan perempuan itu membalas ciuman Warren dengan mesra.

***

Norah berteriak histeris, tubuhnya gemetar melihat seekor ular di depannya. Saat itu dia sedang duduk diatas sebuah pohon tumbang sambil memotong kentang.

"Warren ... " ia berteriak memanggil Warren, namun tidak ada sahutan dari pria itu. "Warren ... ada Ular!!!"

Setelah berteriak beberapa kali, akhirnya terdengar suara Warren menyahutinya dan tak lama pria itu muncul dengan tumpukan kayu di tangannya.

"Ada apa?" Tanya Warren.

Norah meringis ketakutan dan menunjuk dengan tangannya ke arah seekor ular yang melingkar di batang pohon yang ia duduki.

Warren meletakan tumpukan kayu yang dia bawa ke tanah, lalu mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Norah.

"Tidak apa-apa, dia tidak akan mengigit." Kata Warren menenangkan Norah.

Warren mencoba mengusir ular tersebut menggunakan sebuah kayu panjang.

"Hati-hati." Kata Norah cemas.

Warren meliriknya sebentar, lalu ... "Arghh ... "

Norah ikut berteriak sambil melompat mundur.

"Warren ... ada apa? Kau baik-baik saja kan?" Tanya Norah khawatir, dia takut Warren di gigit ular.

Warren tidak menjawabnya membuat Norah semakin panik.

"Warren?" Perlahan-lahan dia mendekati Warren untuk memastikan keadaan Warren. "Ini tidak lucu sama sekali, Warren." Katanya kesal, saat Warren melayangkan senyumannya dan menggodanya.

Warren belum mengatakan apapun ketika ia mendengar suara gonggongan Anjing.

"Simpa??" Norah terlihat senang melihat kehadiran Anjing kesayangan Catarina disana. Ia berpikir, Catarina dan yang lainnya kembali. Namun saat ia menunggu selama beberapa saat, tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain disana.

"Pasti Catarina yang memintanya untuk ikut dengan kita," kata Warren sambil mengusap kepala Simpa. Ia melirik Norah sebentar. "Catarina sangat menyayangi Simpa, dia ingin sahabat baiknya ini menemani perjalananmu di hutan ini, sama seperti saat dia menemani Catarina."

Walaupun sedih Catarina dan yang lainnya tak kembali, namun ia senang ada Simpa disana.

"Setelah makan, kita lanjutkan perjalanan kita."

"Berapa lama lagi?"

"Nikmati saja perjalanannya, menghitung hari hanya akan membuat lelah." Katanya.

Warren menyiapkan makanan sementara Norah bermain dengan Simpa.

"Kenapa mereka tidak pernah menuruti apa yang aku katakan?" Keluh Warren.

The Name Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang