Tiga Puluh Empat

1.5K 54 0
                                        

Keesokan harinya, mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan, menyusuri jalanan setapak yang di kelilingi hutan belantara. Pikiran aneh kembali menyelimuti kepala Norah, ia membayangkan ada penjahat yang akan mencegat kemudian membunuh mereka. Hutan ini lebih mencekam dari yang sebelumnya. Jika mereka mati disini, siapa yang akan menemukan keduanya? Apakah tubuh mereka akan menjadi santapan binatang buas? Berapa lama jasad mereka akan di temukan?

"Tidak perlu khawatir, jalanan ini aman dan tidak ada penjahat ataupun pembunuh yang akan mencegat kita." Warren tersenyum kecil, seakan tau apa yang di pikirkan oleh Norah. Raut wajah Norah, bola matanya yang berputar-putar, serta mulutnya yang komat-komit tak bersuara menunjukan betapa takutnya ia saat itu.

Jalanan yang mereka lewati mulai tertutup kabut, dan lagi-lagi Warren mengajak Norah untuk berhenti. Jika mereka tetap melanjutkan perjalanannya maka kemungkinan mereka akan salah arah.

Norah melihat jam, lalu meminta Warren untuk kembali ke pondok saja dan menghabiskan waktu disana daripada meneruskan perjalanan menuju tempat terakhir, tempat yang indah menurut Warren. Walaupun Warren bilang semua akan baik-baik saja, tetap saja dia merasa takut. Bukan hanya pembunuh atau binatang liar dan buas yang menganggu pikirannya, namun pikiran tentang setan dan vampir melintas di kepalanya.

Warren malah tertawa melihat ketakutan di wajah Norah dan mendengarkan apa yang di pikirkan Norah.

"Bagaimana kalau kita bernyanyi, agar suasananya tidak mencekam." Warren menyanyikan lagu Adventure of lifetime dari Coldplay.

Mendengar Warren bernyanyi, menghilangkan sedikit ketakutan di wajah Norah, iapun ikut bernyanyi bersama Warren.

"Aku tidak tau, kalau suaramu terdengar sangat bagus saat bernyanyi."

"Masih banyak keahlianku yang belum kamu ketahui."
Kata Warren bangga. Mereka kembali melanjutkan perjalanan saat kabut mulai menghilang. Perjalanan yang di tempuh sekitar 3 jam.

Norah tampak lega mendengar suara deburan ombak.

"Kita ke pantai?" Tanya Norah.

Warren menganggukan kepalanya. Norah tampak antusias dan mempercepat langkahnya, ia sudah tak sabar untuk tiba di tepi pantai.

Pantai yang mereka datangi sangat sepi, padahal pantainya begitu indah. Norah memandang sekelilingnya ia takjub dengan pemandangan di sekitar pantai, tak jauh dari tempat ia berdiri, ia melihat sebuah bukit. Norah berpikir, bukit itu adalah spot terbaik untuk melihat matahari terbenam. 

Warren membiarkan Norah melepaskan lelah di tepi pantai. Namun saat matahari mulai terbenam ia memanggil Norah untuk mengikutinya. 

"Kenapa kita malah masuk hutan lagi?" Tanya Norah. Ia menoleh ke belakang melihat bukit yang berdiri gagah di belakangnya. "Kita tidak ke bukit itu kan?"

"Ada tempat yang paling bagus untuk kita melihat matahari terbenam." Katanya. 

Mereka menyusuri hutan, suasananya kembali mencekam, ia takut binatang buas tiba-tiba muncul dan menerkam mereka. 

"Masih jauh?" Tanya Norah. Sudah dua puluh menit berlalu, tetapi tempat yang di katakan Warren belum terlihat. Ia merasa langkah mereka semakin masuk kedalam hutan, suara ombak yang sebelumnya terdengar kini menghilang dan semuanya tampak sunyi. Kesenangannya hanya sementara, hutan tetap tempat tujuan mereka.

"Sebentar lagi." 

"Kau yakin?"  ia sudah tidak bisa mempercayai ucapan  Warren. Sebentar lagi artinya masih lama.

Warren mengangguk. 
"Kita tidak salah jalan, kan?" ia memastikan.

"Tidak." Sahutnya.

Tiga puluh menit kemudian, mereka tiba di sebuah rumah kayu yang tampak kecil. Suara ombak pun mulai terdengar, terpaan angin laut mulai menghantam wajah mereka.

"Sebentar lagi matahari akan terbenam, sebaiknya kamu kesana dan nikmati suasana sore ini." Kata Warren. Ia menunjuk sebuah batu besar yang ada di dekat tebing. Ia bilang itu tempat favoritnya saat melihat matahari terbenam. 

"Kamu tidak kesana?" 

"Aku akan menyusul setelah aku membereskan barang-barang ini." Katanya, kemudian berjalan masuk ke dalam pondok. 

Norah duduk di atas batu, benar apa yang di katakan oleh Warren, tempat itu adalah tempat terbaik untuk menikmati matahari terbenam.
Norah  terpukau dengan langit yang mulai berwarna orange. Akses menuju tempat ini memang sangat jauh, namun pemandangan yang ia dapatkan mampu menghilangkan lelahnya.

***

Hari mulai gelap, Norah kembali ke pondok. Rumah itu tanpa listrik, namun cahaya lampu yang sudah di nyalakan oleh Warren membuat rumah itu terang.

"Warren?" Panggil Norah. Ia tidak melihat Warren disana. "Apa dia menyusulku?" Pikirnya. Ia kembali memanggil nama Warren. Ia terkesiap ketika melihat Warren tertidur di lanta. Tidak pria itu tidak tidur ia pingsan.

Norah panik dan mencoba menyadarkan Warren, namun tidak ada hasil sama sekali. Wajah Warren pucat dan keringat dingin tampak di wajahnya. Norah melepaskan jaketnya lalu menjadikan jaket tersebut untuk bantalan kepala Warren, setelah itu ia mengeluarkan sebuah kain dari dalam tas dan menutupi tubuh Warren.

"Jangan panik Norah ... jangan panik!" Ia memberi perintah pada dirinya sendiri.

Norah menyalakan tungku api, lalu merebus air dan membuat makanan untuk Warren. Ia menoleh mendengar suara Warren menggumamkan sesuatu.

"Kita akan mati disini, jika kau membakar pondok ini." Kata Warren. Dia mencoba untuk bangun dan menghampiri Norah.

"Jangan bergerak, tetap baring disana. Semua akan baik-baik saja ... yah memang ada sedikit kecelakaan kecil, tetapi aku bisa mengatasinya." Dia melirik sebuah kain yang sebagiannya sudah terbakar.

Warren kembali berbaring sambil memperhatikan kegiatan Norah dengan waspada.

"Aku membuatkan makanan spesial untukmu." Norah membantu Warren untuk duduk.

Warren melihat makanan yang di sajikan Norah untuknya.

"Kau membuat sup kentang?" Tanya Warren tak percaya. "Kau yakin tidak salah mencampurkan bumbu-bumbunya?" Ia teihat ragu. Tampilan makanannya memang menarik namun ia tidak yakin dengan rasanya.

"Eiii ... kau boleh protes setelah kau mencobanya." Ia menyuruh Warren untuk mencicipi makanan yang dia buat.

Warren tersenyum setelah mencobanya, lalu menatap Norah. Tampak perempuan itu tersenyum bangga, karena ia berhasil membuatkan makanan enak buat Warren.

"Tidak sia-sia aku belajar dari Catarina." Gumamnya pelan.

Warren menikmati makanannya dengan lahap.

"Aku boleh minta sesuatu darimu?" Tanya Norah.

"Tentu saja, aku akan memberikannya jika aku bisa."

"Jangan sakit dan jangan terluka. Beritahu aku jika kamu merasa sakit, beritahu aku jika kamu sedang lelah, beritahu aku jika kamu butuh sandaran dan ingin berbagi susahmu denganku. Aku tidak mau terlihat menyedihkan karena tidak bisa melakukan apapun untuk mu, aku juga ingin membantumu dan mensupportmu seperti yang kau lakukan padaku selama ini."

Warren hanya tersenyum kecil lalu menarik Norah ke dalam pelukannya.

"Aku akan melakukan apapun yang kamu mau."

"Aku tidak butuh sebuah ucapan, aku butuh sebuah tindakan Warren. Aku sudah seringkali memperingatimu."

"Aku tau ... " kata Warren pelan. "Bagaimana kalau sekarang kita membahas konsep pernikahan kita?"

"Kau ingin menikahiku? Baiklah ayo kita bahas!" Kata Norah penuh semangat. "Karena kau selalu membawaku ke hutan, aku mau pernikahan kita juga di hutan."

"Kau yakin?"

"Yakin. Tetapi bukan hutan lebat dan menyeramkan seperti yang kita lalui."

"Lalu?"

"Aku ingin pernikahan kita seperti pernikahan Bella Swan dan Edward Cullen. Bagaimana?" Tanya Norah.

"Kita lakukan seperti yang kamu mau." Kata Warren.

Mereka merenakan semua hal yang indah walau keduanya menyadari kepahitan yang akan mereka dapatkan.

The Name Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang