Tiga Puluh Enam

1.2K 45 0
                                    

Malam itu, langit tampak cerah berhiaskan banyak bintang. Norah duduk sendirian di depan pondok, udara dingin serta hembusan angin yang begitu kencang, tidak membuatnya beranjak darisana. Api unggun yang ada di depannya sudah hampir mati.

Norah menoleh sebentar, ketika dia mendengar Simpa mengonggong, karena suara ranting pohon yang saling bertaut.

Pintu pondok terbuka, Warren keluar sambil membawakan sebuah selimut. Ia sedikit jongkok di belakang Norah dan menyelimuti tubuh Norah dengan selimut, lalu menyalakan kembali api unggun yang hendak padam.

Norah menatap Warren yang sedang menyalakan api. Pria itu tidak mengatakan apapun pada Norah. Pria itu masih sakit, namun berpura-pura baik-baik saja di depan Norah. Suaranya pun sudah mulai serak, namun dia bilang dia baik-baik saja.

Warren melirik Norah, seakan bertanya pada perempuan itu, kenapa dia masih belum tidur dan membiarkan hembusan angin kencang dan udara dingin menghantam tubuhnya. Sepertinya pertanyaan itu tidak perlu di jawab, karena Warren sendiri sudah tau apa yang membuat Norah duduk sendirian di luar pondok.

"Kenapa kau belum tidur?" tanya Norah pada Warren. "Kau akan semakin sakit jika kau membiarkan tubuhmu kedinginan." Dia melepaskan selimut yang menyelimuti tubuhnya, dan menyuruh Warren untuk duduk di dekatnya agar ia bisa membagi selimut dengan pria itu.

Warren sedikit bergeser, lalu menyunggingkan seulas senyumannya pada Norah. Ia mengulurkan sebelah tangannya.

"Ulurkan tangan mu." Kata Warren.

Norah mengulurkan tangannya dan Warren langsung mengenggamnya dengan erat. Tangan Norah sudah terasa kasar, kulitnya pun mulai kecoklatan. Dia pasti tidak pernah memikirkan akan melalui hari-hari seperti ini. Dia yang biasanya berjalan di catwalk harus merasakan perjalan jauh di hutan, dia yang biasanya menghabiskan waktu di spa dan salon, kini harus membiarkan wajah dan tubuhnya tak terawat.

"Kenapa? wajahku terlihat jelek? tanganku mulai kasar?" tanya Norah.

"Aku tidak peduli semua itu. Aku menyukaimu dan mencintaimu seperti apapun dirimu. Saat kau kembali, lakukanlah semua hal yang membuatmu senang, nikmatilah hari-harimu seperti dulu." Genggaman tangan Warren semakin erat. Besok Norah akan pergi dan ia tidak tau berapa lama lagi mereka bisa bertemu.

Norah langsung memeluk Warren dan menangis dalam pelukan pria itu.

"Aku tidak mau pergi dan jauh darimu, tetapi aku tidak bisa membiarkan Kakek ku sendirian saat dia sedang sakit. Aku sangat khawatir padanya."

"Aku juga ingin kamu tetap di sampingku, tetapi aku tidak mau terlalu egois. Kau temui Kakek mu dan aku akan menyusulmu jika sudah waktunya."

"Siapa yang menangis?" terdengar suara Allessa. Pintu terbuka dan perempuan itu keluar sambil merapatkan jaketnya. "Astaga! apa yang sedang kalian lakukan di luar? kalian tidak kedinginan?" tanya Allessa sambil menggerakan langkahnya menghampiri Norah dan Warren.

Ia duduk di depan mereka dan menatap sepasang kekasih itu.

"Kenapa kau tidak tidur?" tanya Warren.

"Aku mendengar suara tangisan Norah."

"Apakah aku menangis sekencang itu?" tanya Norah sambil mengusap pipinya yang basah.

"Seharusnya kau senang bisa meninggalkan tempat ini, kau pasti merasa bosan kan tinggal disini?" tanya Allessa. "Aku pernah merasakan hal ini sebelumnya." Dia mengulurkan tangan ke dekat api unggun.

Allessa menoleh ke arah pintu saat mendengar suara Piere.

"Sepertinya kita harus masuk." Kata Warren pada Norah.

The Name Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang