BAB 1

17.2K 323 16
                                    

Tandus, kata yang tepat untuk menggambarkan hamparan tanah lapang tanpa penghijauan, di mana debu yang berasal dari campuran semen dan pasir beterbangan ke angkasa. Setiap tamu niscaya sepakat kafe ini bagaikan gurun pasir tanpa penghijauan penyejuk mata. Matahari siang hari memantul memanaskan ubun-ubun kepala dan rasa-rasanya sanggup mendidihkan air.

Benedict Andes penat. Persidangan tadi berlangsung alot dalam artian saksinya dibantai habis-habisan oleh pengacara Tergugat. Dia butuh tempat yang tenang untuk menyelesaikan pekerjaan. Poin-poin telah dia susun dalam kepala untuk membalas perlakuan lawan, menunggu dituangkan dalam bentuk tulisan.

Kafe lain terlalu hiruk pikuk memecah konsentrasi dengan derai tawa tamu atau suara panggilan pramusaji. Satu jam lamanya dia berkendara mencari ketenangan hingga sampailah di sebuah kafe tandus sepi pengunjung. Terbukti dari keberadaan dua mobil, satu BMW silver miliknya dan satu lagi Mercedes hitam entah milik siapa.

Benedict menyembunyikan wajah di balik lengan demi mencegah butiran lembut pasir merangsek rongga pernapasannya. Pantas saja kafe ini sepi. Suasana tandusnya didukung eksterior kafe yang kaku. Fasadnya hanyalah sebuah kotak tanpa cat, abu-abu dan suram.

Sebuah keputusan yang diambil tergesa-gesa saat memilih Otak Kanan Kafe untuk melepas penat. Kesan pertama mengenalnya, tidaklah menggoda. Benedict hanya memerlukannya untuk bekerja. Suasana seperti ini justru menyuruhnya untuk cepat-cepat masuk dan berteduh di dalam.

Dengan memegangi tali tas selempang model postman, pengacara itu melompati undakan yang juga berwarna abu-abu hingga tiba di depan pintu kaca. Saat pintu digeser, udara sejuk yang berasal mesin segera membungkus tubuhnya, menyelimuti dengan rasa nyaman, menggantikan sensasi terpanggang hidup-hidup.

Otak Kanan Kafe adalah contoh yang baik bagi peribahasa 'Hidup segan, mati tak mau'. Bagian dalam kafe sama sunyi dengan luarnya, hanya saja tidak suram. Interiornya mengusung konsep kontemporer. Bangku dan meja kayu didesain ramping. Kesan lega segera dirasakan karena minimnya sekat. Dinding serta perabotnya mempertahankan warna alami.

Seorang karyawan mengepel lantai. Padahal Benedict yakin sejak buka, kafe ini tidak mungkin dikotori oleh siapa pun. Jadi, percuma saja dipel berkali-kali.

Rupanya Otak Kanan Kafe adalah sebuah kafe buku. Dalam hati, laki-laki itu sempat menertawakan namanya yang mengingatkan pada tempat les matematika atau praktik psikolog. Pantas saja calon pelanggan potensial malas menginjakkan kaki di sini karena salah paham. Sekarang dia mengerti kenapa pemilik kafe memilih nama yang unik, meskipun menurut pemikirannya, nama kafe harus diganti jika ingin lebih ramai.

Benedict segera tertarik dengan rak buku yang dipaku menyatu dengan dinding. Tidak terlalu tinggi sehingga mudah dijangkau orang dewasa, tetapi tidak pula berada di tanah sehingga buku-buku aman dari rendaman air. Kawasan sini rawan banjir. Namun ini Jakarta, di mana lahan yang sering dihampiri banjir pun tetap berharga mahal. Pajaknya tinggi. Sayang jika tanah dan bangunan tidak dimanfaatkan untuk menghasilkan uang.

'Bumi Manusia'. Benedict hampir menarik novel terkenal karya Pramoedya Ananta Toer jika tidak ada tangan lain yang juga menginginkannya. Jemari lentik yang dilingkari cincin sama-sama menyentuh novel itu. Benedict menoleh dan seseorang berdiri tepat di sampingnya. Senyum itu adalah perpaduan manis dan misterius. Pemiliknya bertubuh ramping, malah kelewat ramping di balik rok terusan putih sebetis. Sebuah jepit bertatah mutiara merangkum sejumput rambut hitamnya ke belakang, tepat di tengah. Sisanya dibiarkan tergerai, jatuh melewati bahu.

"Silakan, untuk Anda." Wanita itu berkata dengan suara teramat lembut.

Dorongan aneh merasuki Benedict, sebuah keinginan untuk melindungi wanita ini dari dunia yang kejam.

SWINGER CLUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang