Bab 24

994 47 5
                                    

Pada dasarnya, setiap manusia pasti pernah merasa bersalah, Liliana pun begitu. Percakapan dengan Leander barusan meninggalkan rasa tidak nyaman. Bagaimana dia akan menghadapi Joy? Liliana tercenung lama di ujung selasar, memperhatikan Joy dari jauh. Sahabatnya itu menengadah menatap langit dengan semburat oranye, sesekali memejam seolah menikmati suara permainan alam yang disenandungkan daun-daun saat diterpa angin semilir.

"Li?" Joy menangkup bibir saat menoleh, sahabatnya itu seolah tidak percaya dengan apa yang ada di depan mata. Namun akhirnya mendesah lega mendapatinya dalam keadaan baik, sehat, tidak kurang apa pun. Liliana mengeratkan cardigan menutupi dada. Rumput hias mennyetuh separuh betis yang tertutup kulot.

"Hai," sapa Liliana kikuk. Celingukan ketika akan membuka masker. Dia tidak nyaman berbicara di tempat ini. Terlalu terbuka. Anak buah Samuel bisa saja ada di sekitar mereka.

"Kita ngobrol di dalam deh." Senyum Joy demikian lebar semakin menambah rasa bersalah Liliana. "Bantuin gue dong, ish! Tega banget lo ngebiarin gue di kursi roda begini."

Lebay! Liliana mendengkus sebal. Sudut hatinya sedikit lapang melihat Joy tetap semangat seperti biasanya. Liliana melepas tuas rem, lantas menggeret kursi roda Joy kembali ke kamar kemudian menutup pintu.

Astaga! Liliana melongo ketika Joy turun dari kursi roda, teramat lincah umtuk ukuran pasien yang bafu saja dioperasi. Joy melempar selimut ke ranjang lalu duduk bersila di sofa, kemudian menepuk tempat kosong di sampingnya lantas bersedekap.

"Kakimu enggak papa?" Liliana khawatir. Bukankah Joy habis kena tembak?

"Enggak papa, kakiku memang enggak ada masalah," jawab Joy enteng.

"Lantas kursi roda itu?" Liliana mengedik ke samping brankar, menunjuk kursi roda yang dibiarkan Joy begitu saja.

"Kerjaan Leander tuh." Joy menyerong, menunjuk punggungnya. Liliana mencelus melihat perban yang menempel di sana. "Dia enggak mau kalau punggungku jadi santapan orang-orang." Joy tertawa sembari menunjuk paha bergantian dengan selimut. "Terus itu buat menutupi ini. Leander pasti posesif banget kalau jadi pacar."

"Jadi kalian sudah pacaran?"

Joy mencebik sambil menggeleng, "Enggaklah, it just my opinion, Dear."

"Kalian berciuman ganas saat di apartemen ...." Liliana batal melanjutkan ucapan, mengingat apartemen, rasa bersalahnya kembali muncul. Dia juga sudah bercinta di apartemen Benedict.

Hubungan pria dan wanita kerap kali menjadi rumit karena berbagai alasan, Liliana menyadari jika Joy sendiri tidak tahu seperti apa hubungannya dengan Leander dan bagaimana perasaan pria itu kepadanya. Namun, apa yang telah mereka lakukan selama ini sama sekali tidak menunjukkan jika mereka bukan 'sekadar teman biasa' bukan pula atasan dan bawahan.

"Dih! Dasar omesh!" Liliana menjawil pipi Joy yang memerah. Dia mulai menebak-nebak isi kepala sahabatnya itu. Yang jelas, sesuatu yang menggairahkan. Liliana juga begitu jika mengingat kembali bagaimana Benedict memuja setiap detail tubuhnya.

"Aaargh!"

Liliana dan Joy sama-sama terkinjat. Mereka saling pandang dengan wajah yang sama tergemapnya. Kenapa mereka tiba-tiba kompak berteriak. Lilina mencebik kemudian mengomel.

"Apa sih? Bikin kaget saja."

Joy tertawa lebar, Liliana semakin penasaran apa yang terjadi pada sahabatnya. Mungkin Joy butuh psikiater, otaknya korslet karena habis kena tembak.

"Btw lo apa kabar? Samuel belum menemukan lo kan?"

"Enggak, Benedict meminjamkan kamarnya. Arnold yang mengantarku ke sini. Samuel pasti enggak pernah menyangka kalau gue ditolong sama sahabatnya."

SWINGER CLUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang