BAB 9

3.2K 116 3
                                    

"Tukang Celup, lo apain anak orang sampai pingsan gini?"

"Gembel, lo pergi saja dari sini. Kehadiran lo sudah nggak diperlukan."

"Gue tetap akan di sini. Kalau cewek ini hamil anak lo, gue nggak yakin lo mau tanggung jawab. Jaga-jaga kalau lo mutilasi dia, gue bisa jadi saksi yang memberatkan lo di pengadilan."

"Gue tahu lo gembel. Makanan lo sehari-hari kurang nutrisi. Tapi jangan sejongkok ini juga dong IQ lo. Tadi lo dengar kan dokter bilang Liliana dehidrasi, mal nutrisi, dan kelelahan bukan hamil."

Laki-laki dan perempuan asing berdebat di sekitar Liliana. Suara mereka sedikit familiar meskipun jarang Liliana dengar. Mungkin hanya satu atau dua kali dalam hidup, tapi yang jelas pernah. Mata Liliana terpejam memastikan nama para pemilik suara yang sibuk mempertahankan argumen.

"Iya gue denger, tapi siapa tahu kan hasil lab yang lain belum keluar."

"Lo sudah telepon siapa selain gue?"

"Nggak ada. Apa perlu lapor polisi?"

"Jangan."

"Kenapa, Ben? Lo nggak macam-macam, kan? Nggak ada rencana mau menyingkirkan barang bukti kan?"

"Sher, dulu nyokap lo nggak pernah kasih mulut lo cabe ya kalau ngoceh sembarangan?"

"Nyokap gue tahu anak perempuannya yang cantik jelita ini akan jadi pengacara terkenal dan mengangkat harkat martabat keluarga. Modal paling berharga pengacara adalah bacotnya. Mana mungkin nyokap gue merusak aset bernilai miliaran ini?"

"Baru tahu gue modal lo jadi lawyer cuma bacot. Pantas semua perkara yang lo selesaikan nggak pakai otak."

Ah, benar sekali. Ben adalah Benedict Andes, laki-laki yang Liliana cari sampai sejauh ini dan perempuan yang adu debat dengannya adalah Sherly, rekannya. Apakah perempuan itu pengacara juga? Balasan Ben pedas sekali. Liliana khawatir Sherly tersinggung.

"Mendingan gue lah, Ben modal bacot doang. Daripada lo modal 'otong' yang cuma segede baby carrot itu. Pengacara lawan dan jaksa pernah lo ajak main demi memenangkan perkara klien, tapi gue yakin bacot lo lebih berguna buat muasin mereka daripada 'otong' lo yang seukuran baby corn."

"Dalil lo nggak konsisten, SherGem, SherGem. Sherly Gembel. Lo bilang junior gue segeda baby carrot, terus berubah jadi segede baby corn. Jadi yang bener yang mana? Kasihan gue sama klien lo. Nangis karena denger legal opinion mencla-mencle gitu. Supaya nggak penasaran, biarkan fakta yang berbicara. Kita quicky di sini sekarang juga. Awas kalau lo jerit ketagihan."

Ya ampun, debat dua pengacara ini semakin brutal saja. Seharusnya mereka sadar di dalam ruangan ada Liliana. Matanya terpejam, tapi bukan berarti telinganya tuli. Telinganya berdenging dan panas mendengar celotehan vulgar. Liliana memaksa diri untuk membuka mata.

"Pak Benedict." Liliana berucap lirih. Jarum infus menusuk punggung tangan kanannya. Telapak kaki Liliana dibebat.

"Liliana." Benedict melupakan Sherly, tergopoh mendekati ranjang rawat Liliana.

"Saya di rumah sakit."

"Benar. Kamu aman," ucap Benedict menenangkan. Mulutnya yang begitu tengil membalas makian Sherly tadi seketika berubah menjadi profesional.

"Tapi Joy nggak aman. Kita harus menolong dia." Ingatan Liliana jernih. Tujuannya mencari Benedict adalah untuk meminta bantuan. Orang-orang suruhan Samuel pastilah menyusahkan Joy. Sahabatnya dikeroyok.

"Joy siapa?"

"Aurea Joy Wiyono, sahabat saya."

Benedict tercenung sesaat. Sepertinya pernah mendengar nama itu.

SWINGER CLUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang