BAB 15

2.7K 113 6
                                    

Andaikata Benedict bukan pengacara yang terbiasa menghadapi polisi, jaksa, pengacara lawan, dan hakim, mungkin dia mengompol di celana sekarang juga. Samuel memang sesuatu. Di balik sikap bertata kramanya, tatapannya tajam mengancam bagaikan malaikat maut.

"Saya nggak mengerti maksud Anda, Pak Samuel." Benedict paling ahli memasang tampang tidak tahu apa-apa.

"Apa Anda lupa siapa saya?" Samuel yang kehilangan kesabaran memperlihatkan kepongahan.

Benedict memegang sabuk hitam karate. Gilbert membekali ilmu bela diri sejak SD. Benedict bisa saja meladeni Samuel. Berduel melawan satu atau malah sekelompok orang masih sanggup dihadapinya. Tetapi buat apa kemenangan semu itu? Pihak yang kalah hanya akan menyimpan dendam.

Saat usianya lebih muda, Benedict menganggap adu otot sebagai atraksi gagah-gagahan. Semangatnya meningkat saat bertarung apalagi jika kaum hawa berteriak ngeri melihat ada yang terpental, jatuh, atau darah mengalir. Alih-alih ketakutan, Benedict malah terbakar semangat.

Kemenangan sementara Benedict seringnya ditanggapi serangan balasan dari orang yang dia hajar. Menyusahkan pihak sekolah karena harus menghadapi kepungan siswa dari sekolah lain yang menantang tawuran.

Pengalaman mengajarkan kebijaksanaan. Benedict menghindari berkelahi fisik. Biarlah di ruang sidang saja.

"Banyak anak SMA atau kuliahan yang mau saya jadikan sugar baby. Kenapa saya harus main-main dengan istri orang, Pak Sam?" Benedict tak lupa melempar senyum tak berdosa.

"Hah, benar juga." Samuel mendengus. "Meniduri papan cucian nggak enak. Anda pasti akan menderita. Carilah perempuan yang punya daging."

Kedua tangan Benedict mengepal di saku celana. Ingin diberinya bogem ke pipi Samuel kalau perlu sampai giginya copot. Keadaan Liliana memburuk karena ulah Samuel. Jika sekarang dia tega mengolok istrinya sendiri, rasanya laki-laki itu layak dihajar.

"Anda tidak menyukai Liliana." Benedict menggiring Samuel mengungkap segalanya.

Samuel yang sempat berdiri, mengempaskan diri ke kursi. "Anda belum menikah, Pak Benedict?"

"Belum, tetapi akan."

"Dengan Chika?" Mata Samuel yang acuh tak acuh saat membicarakan Liliana, sekarang berbinar layaknya berlian mahal.

"Tentu saja. Dengan siapa lagi?"

"Meskipun nggak menyukainya?"

Benedict tertawa pelan. Chika banyak bercerita mengenai hubungan mereka yang menyedihkan. Chika berbeda dari perempuan kebanyakan. Dia bebas, liar, susah dikendalikan. Ayah kandungnya saja mungkin menyerah menghadapi anak perempuannya ini. Benedict tahu Chika berpengalaman untuk urusan libido. Chika bisa memisahkan perasaan dengan kebutuhan. Terkadang, Benedict yang sudah bersumpah tak mau melakukannya, bisa dibuat tak berdaya dengan godaan nakalnya. Chika tak ragu mengambil langkah mendekati laki-laki.

"Saya bisa menyukai Chika kalau saja dia berhenti bersikap murahan. Melemparkan diri pada suami orang, apalagi kalau bukan murahan?" sindir Benedict.

"Chika nggak murahan. Dia tahu apa maunya. Menurut saya dia seksi."

Sempat tebersit di pikiran Benedict untuk menelepon Ratna, meminta sang resepsionis membawa asbak untuk menampung liur Samuel. Cuma membahas nama Chika saja mukanya diselimuti nafsu.

"Pak Benedict, Anda pernah mencoba 'menghajarnya' dari belakang? Chika punya gerakan yang enak banget. Saya nggak perlu ngapa-ngapain, malah bisa jambak rambutnya. Posisi kayak gitu seksi sekali."

Alis Benedict naik. Apa Samuel serius mau membahas seks pada jam kerja? Dia suka seks sebagaimana laki-laki normal. Hanya saja membahas cara berkembang biak secara terus menerus memualkan baginya.

SWINGER CLUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang