SEPULUH TAHUN YANG LALU (1)

1.1K 64 5
                                    

Tiga tahun berlalu sejak Liliana dan Samuel bertunangan, sejatinya waktu yang cukup panjang untuk bisa saling mengenal satu sama lain. Liliana menantikan kapan saatnya Samuel mengajak berkencan seperti pasangan normal lain. Sayangnya harapan tersebut tidak terkabul.

Di kampus jurusan bisnis sebagaimana saran atau lebih tepatnya paksaan Hermanto, teman-teman Liliana sudah banyak yang berpacaran. Laki-laki menjemput perempuan di kampus, makan bersama, sampai traveling saat libur semester, lumrah terjadi.

Liliana menyibukkan diri dengan belajar dan menulis. Nama pena Lil Cloud sudah resmi kembali padanya. Samuel menandatangani Perjanjian Pernyataan Penyerahan Nama Pena beserta hak dan kewajiban di dalamnya. Perjanjian tersebut ditandatangani di hadapan notaris. Jadi, Liliana terbiasa mengurus segala hal berhubungan dengan penerbitannya di penerbit. Bukan hanya Mahogany Media, tapi juga penerbit lain. Liliana semakin dikenal di dunia literasi dan tentu saja dihormati meski dia tidak pernah mau diajak jumpa fans atau tanda tangan buku secara langsung.

Novel terakhir Liliana terjual lebih dari 5000 eksemplar dalam waktu satu bulan setelah penerbitannya. Penerbit mayor yang bagaikan ketiban durian runtuh itu tentu saja bahagia dan menyambut gembira jika nanti Liliana mau menyerahkan naskah lagi. Begitulah dunia ini hanya mau menerima yang terkenal dan menguntungkan.

Di balik semua keberhasilan itu, Liliana merasakan ganjalan besar dalam hati. Kenapa Samuel begitu dingin padanya?

Liliana berhenti mengetik tugas kuliah lantas mengambil ponsel di atas hard disk. Apa yang biasanya teman-temannya ketik di BBM untuk menyapa pacarnya?

[Liliana 19.08: Hai.]

Pintu kamar Liliana diketuk. "Non, Non."

Suara siapa lagi kalau bukan Mbak Pur? Jam segini saatnya makan malam. Hermanto dan Lidia tidak ada di rumah seperti biasa. Kehidupan luar lebih menarik ketimbang rumah yang membosankan. Sebagian orang berpikir demikian.

"Ya Mbak, aku keluar sebentar lagi."

Liliana mematikan komputer setelah menyimpan semua hasil kerjanya. Dia tahu masakan Mbak Pur selalu sedap. Chef internasional bisa memasak enak karena menggunakan bahan-bahan premium. Bagi Liliana, kemampuan Mbak Pur lebih mumpuni sebab hanya bermodalkan oncom, leunca, dan bahan lain yang murah meriah, dia dapat menciptakan masakan yang menggugah selera seperti malam ini.

"Tempe goreng." Liliana mencomot tempe goreng tepung yang diiris tipis. Tepung pelapisnya kaya akan bumbu. Perpaduan tepung terigu dan tepung berasnya pas sehingga renyah saat digigit.

"Saya nemu daun genjer sama ikan pari tadi di pasar, Non."

Mbak Pur jagonya mengolah masakan Indonesia. Liliana mengambil banyak nasi, tumis genjer, dan ikan pari bumbu nyonya. Ditambah tempe goreng kriuk, rasanya semakin ingin nambah.

"Mbak, nanti kalau aku nikah, Mbak ikut aku aja ya." Liliana tak yakin bisa berpisah dari masakan asisten rumah tangga dan pengasuhnya ini.

"Mau nikah sama siapa, Non?"

"Ya Samuel, Mbak. Kan aku tunangan sama Samuel." Liliana memperlihatkan cincin emas putih bermata berlian.

"Lho, masih sama Den Samuel, Non? Mbak kira sudah putus."

Selera makan Liliana seketika lenyap. Ini bukan salah Mbak Pur. Samuel memang sejarang itu datang ke rumah Liliana. Seribu satu alasan dilontarkan dari yang paling klise misalnya sibuk, banyak pekerjaan yang tidak bisa didelegasikan, sampai alasan yang ajaib seperti pijat di terapis langganan. Liliana mau dipijat. Suka malah. Lalu kenapa dia tidak diajak?

"Jelek amat doanya, Mbak." Liliana memaksa seulas senyum agar kesedihannya tidak kentara.

"Nggak doain, Non. Mbak jelek-jelek gini pernah tunangan sama suami di kampung. Suami Mbak tuh dulu, hampir tiap hari ngapelin Mbak. Kami sempat pisah lho setahun. Istilahnya apa, Non? Long disten, long disten gitu, suami Mbak kerja di Cirebon bangun rumah juragan kapal ikan. Kampung Mbak di Cilacap. Setiap pulang kampung, Mbak dibawain udang gede...."

SWINGER CLUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang