Bab 33

557 47 1
                                    

Benedict tidak bisa tenang setelah ancaman Chika barusan. Wanita itu benar-benar tidak tahu malu, dikasi hati malah minta jantung. Seharusnya Benedict bisa lebih tegas pada tunangannya itu. Saat menyadari telah menjawab panggilan Chika dari nomor pribadi, sebersit pemikiran perlahan menghampiri. Samuel mungkin sudah tahu di mana Liliana.

Tidak peduli dengan perut yang melilit meminta diisi, Benedict keluar kamar lalu melangkah panjang masuk ke lift yang mengantarnya ke lobi lantai satu. Dia bahkan belum sempat mengganti pakaian.

"Selamat malam, Pak," sapa resepsionis dari balik meja. "Ada yang bisa saya bantu."

"Iya, malam." Benedict gelisah, beberapa kali matanya berotasi, mengindera ruangan dengan interior yang didominasi cokelat keemasan itu. "Maaf, tolong kendaraan saya diantar ke lobi ya."

"Baik, Pak. Saya hubungi petugas valet dulu, ya, Pak. Silakan duduk dulu, Pak."

Benedict makin was-was, meski tatapannya terarah pada lukisan candi Prambanan yang menempel di dinding, tetapi pikirannya mengembara jauh pada Liliana yang sedang sendirian di PIK.

Sorot tajam dari mata patung gadis penari jawa di sudut ruangan semakin menambah kecemasan. Benedict melirik panerai di pergelangan tangan, belum lima menit waktu berlalu, tetapi rasanya seperti seabad. Mungkin benar beberapa lirik lagu jadul untuk menggambarkan kerinduan seseorang pada pasangannya.

"Silakan, Pak. Mobilnya sudah siap di depan." Wanita berambut sebahu mengulurkan benda berbahan kulit dan berukuran mini. "Ini kuncinya."

"Terima kasih." Benedict sontak bangkit dari duduk lalu menyambar kunci dari tangan sang resepsionis kemudian melangkah lebar menuju pintu. Senyum petugas keamanan menyambut saat Benedict melintas, melewati pintu yang membuka otomatis.

"Silakan, Pak." Petugas valet membuka pintu untuk Benedict. Dia yang terbiasa berbasa-basi dengan siapa saja, seakan tidak punya waktu untuk melakukan hal kecil itu. Benedict mengebut meninggalkan pelataran lobi. BMW hitam mengkilap itu menggerung membelah jalan Jakarta yang mulai lengang.

Tuhan Yesus, semoga Liliana baik-baik saja, batin Benedict terus merapal doa. Di saat seperti ini, dia menyesal terlalu banyak berbuat kesalahan. Mungkin Tuhan sedang menghukumnya sampai dia harus tersiksa dalam kegamangan.

Jelas-jelas ada Chika yang dipikirkan Gilbert Andes untuknya, dia malah asyik dengan istri orang. Orang tersebut juga bukan sembarang orang. Semua tahu bagaimana sepak terjang Samuel Lunggono, dia malah memberanikan diri mengganggu, mengambil bahkan menyembunyikan aset berharga dari laki-laki itu.

Tatapan Benedict fokus menyorot lalu lintas di depan, sementara tangannya terulur membuka dashboard, mengaduk isinya sampai menemukan benda yang dia cari lalu meletakkan benda tersebut di sela paha. Tangan Benedict memindahkan persneling bersamaan dengan kaki kiri menginjak kopling. Benedict menambah kecepatan, BMW-nya tetap stabil menapak aspal, meski jarum speedometer hampir menunjuk ke angka 200.

“Sial!” Benedict melempar ponsel jadul itu ke kursi penumpang di sampingnya. Liliana tidak menjawab telepon, apakah wanita itu sudah tidur? Benedict berusaha tetap waras, otaknya memikirkan kemungkinan terbaik. Mungkin dia saja yang terlalu khawatir jika ponselnya diretas atau disadap. Decit ban bertemu konblok parkiran menandakan Benedict telah sampai tujuan dengan selamat.

Benedict berlari menuju lift terdekat, di dalam kotak aluminium itu dia mengembuskan napas kasar berkali-kali. Meski telah berusaha menghilangkan kekhawatiran, jantungnya berdebar kencang, seakan berlomba dengan denting penanda di dalam lift yang semakin mendekati lantai unitnya.

Perasaan Benedict semakin tidak enak saat ketika langkahnya tiba di depan pintu kamar yang terbuka sedikit. Jemari kukuhnya terulur mendorong pintu, di ruang tamu ada Liliana duduk kaku di sofa. Di samping wanita itu, berdiri dua laki-laki tinggi besar berpakaian preman. Benedict melangkah perlahan, tetapi langkahnya terhenti saat seseorang muncul dari balik tirai anyaman kayu. Laki-laki itu tersenyum miring, kemudian bertepuk tangan dengan gerakan pelan. Samuel Lunggono.

SWINGER CLUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang