Berkunjung ke Amerika sebenarnya tidak ada dalam rencana Chika sampai penghujung tahun. Namun, hanya orang bodoh saja yang akan menolak tawaran Benedict. Satu minggu tidak akan cukup jika dia bermaksud menghabiskan uang Benedict. Terlepas dari laki-laki itu adalah pewaris tunggal kepemilikan saham Gilbert Andes, aset Benedict tidak kalah banyak. Bermilyar-milyar! Takkan habis dimakan beberapa keturunan. Rasanya tidak masalah jika dia mengubah sedikit destinasi. Siapa suruh Benedict batal mengantarnya ke bandara?
Montreal adalah destinasi pertama Chika, kapan lagi dia bisa mengunjungi tempat yang menawarkan atmosfer masa lalu? Montreal berada di bawah kekuasaan pemerintah Kanada, tetapi kota ini adalah peninggalan kolonial Perancis. Hampir di semua sudut kota, masyarakat Montreal masih menggunakan bahasa penjajahnya. Cih! Chika berdecih, menyadari kebodohan dirinya yang larut akan kenangan nostalgia.
Tiga hari Chika habiskan di Montreal, dia menyempatkan singgah di basilika Notre Dame. Bukan untuk berdoa, tetapi ingin membuktikan keindahan pemandangan kota Montreal dari atas puncak Mount Royal Lookout Point. Di hadapannya hanya deretan hutan beton dilatari sungai St. Lawrence dan Sirkuit Gilles Villeneuve. Akan lebih bagus jika dia berkunjung saat musim balap mobil Formula Satu, sembari merasakan sensasi bercinta dengan pembalap. Chika mencebik kala itu, tetapi sontak mengekeh sembari menepuk dahi. Otaknya semakin liar saja.
Kunjungan ke Montreal ditutup dengan mengunjungi Holt Renfrew Ogilvy, tentu saja untuk berbelanja. Banyak barang mewah incaran Chika terpajang di sana. Ekspedisi menjadi pilihan Chika untuk membawa semua barang belanjaannya, sebelum bertolak ke Amerika. Benedict menyarankan singgah ke Ottawa, mengunjungi The Canadian Mint yang katanya digunakan sebagai tempat pembuatan koin. Namun untuk apa? Toh di dompetnya ada kartu ajaib dari laki-laki itu. Platinum card Benedict lebih berguna saat berada di Amerika dibandingkan harus membawa segepok koin-koin.
Hari pertama di New York, Chika habiskan dengan berkeliling kota, Benedict mengingatkan untuk mencoba Liberty Island Cruise. Uh! Tidak asyik, rupanya hanya namanya saja yang keren, para pengunjung diajak keliling melihat Patung Liberty dengan menggunakan kapal feri. Chika menyesal menuruti Ben. Meski patung itu melambangkan pengaruh Amerika pada negara-negara lain di dunia, Chika tidak tertarik untuk berfoto selayaknya para turis yang bersamanya. Separuh waktu Chika habis, dia pun nyaris mabuk laut. Bahkan matahari mulai turun, ketika dia tiba di Manhattan. Chika sengaja memesan hotel terdekat dengan salah satu ikonik kota New York.
Tidak banyak yang berubah dari 5th Avenue sejak terakhir Chika mengunjungi surga belanja ini. Dijuluki Five Miles of Fun, jalan yang membentang sejauh lima mil dari 8th Street hingga 10th Street ini selalu ramai karena menawarkan berbagai atraksi menarik. Mulai dari studio seni, museum, gedung ikonis, juga kawasan perbelanjaan, rasanya tak lengkap ke New York tanpa menyambangi Fifth Avenue.
"The card is declined, do you have the other?"
Pertanyaan sang pramuniaga bukan saja memintas semua embara Chika, tetapi juga sukses membuat semua darah naik ke pipinya. Sialan lo, Ben! Chika mengumpat dalam hati sembari mengeluarkan selembar Titanium Card dari dompet. Baru saja dia mengagung-agungkan kartu hitam Benedict. Sekarang, pujian itu harus Chika tarik, Benedict nyaris membuatnya kehilangan muka. Chika mendengkus kasar saat keluar dari toko, senyuman palsu memang tetap hadir di wajahnya, tetapi hatinya luar biasa murka. Awas saja! Benedict harus mengganti kerugiannya dua kali lipat.
***
Matahari sudah benar-benar jatuh digantikan bulan separuh bersama awan kelabu saat Benedict menurunkan Liliana di parkiran basement. Dia tidak ikut turun, tetapi berpesan pada Liliana untuk lebih waspada. Benedict yakin, Samuel pasti sangat murka sekarang. Dokumen yang selama ini tersimpan rapi, luput dari perhatian orang-orang, justru dibawa kabur oleh istrinya sendiri.
Benedict bukan tidak ingin bersama Liliana, tetapi dia sudah terlalu lama tidak pulang ke apartemen Kuningan. Bisa menimbulkan kecurigaan siapa saja, bukan hanya Samuel Lunggono, tetapi juga Gilbert Andes. Laki-laki itu mengirimkan banyak pesan menanyakan keberadaan putra tunggalnya. Entah bagaimana reaksi ayahnya nanti, jika laki-laki itu tahu apa yang telah Benedict lakukan.
"Selamat malam, Pak," sapa petugas valet ramah saat Benedict menyerahkan kunci. Benedict melirik panerai di pergelangan tangan lalu tersenyum lebar.
"Malam, Pak. Parkirnya di tempat biasa kan?" tanya Benedict basa-basi.
"Iya, Pak," sahut sang petugas valet.
Benedict memerhatikan sampai kendaraannya menghilang, membelok ke parkiran VVIP yang disiapkan pengelola apartemen. Embusan napas terhela begitu saja, Benedict mengangguk ramah ketika sekuriti yang bertugas di lobi membuka pintu kaca. Apa dia kebanyakan melamun sepanjang jalan? Sudah hampir jam dua dua saja, perutnya bergemuruh, bergolak hebat. Dia belum makan, Benedict lapar. Namun, dia sama sekali tidak menyempatkan diri untuk singgah mencari santapan malam. Benedict sudah seperti anak mama yang harus pulang sebelum jam malam. Mungkin dia harus memesan makanan secara daring saja.
Perangkat jemala di saku celana bahan bergetar menandakan ada panggilan masuk. Benedict berharap itu Liliana, sayangnya dia kecewa. Nama Chika terpampang di layar.
"Ya, kenapa, Chika?" tanya Benedict ogah-ogahan, bersamaan dengan bunyi denting kunci pas apartemennya. Dia menghempas tubuh di sofa, satu tangannya membuka sepatu.
[Ish, kamu kok gitu sih, Sayang?]
Teriakan suara di seberang sana berusaha mengalahkan hiruk pikuk kendaraan. Benedict baru ingat Chika di Amerika, mereka terpisah rentang waktu yang cukup jauh. Di Negeri Paman Sam seharusnya jam sebelas siang. Waktu yang tepat untuk Chika gunakan berbelanja. Lantas, kenapa dia malah menghubungi.
"Aku capek, Chika." Benedict memijat pangkal hidung sembari mengenyakkan leher di sandaran sofa. Dua kakinya saling bersilangan di atas meja.
[Kamu jahat, Ben. Kamu bikin aku malu. Pokoknya aku nggak mau tahu! Kamu harus mengganti pengeluaran dua kali lipat.]
Benedict menjatuhkan ponsel dari telinga, dia bisa tuli jika tetap memaksakan indera pendengarnya mendengar racauan Chika di seberang sana.
[Kartu yang kamu kasih sedikit sekali isinya, tau!]
Kartu? Benedict membeo sembari mencerna ucapan wanita itu. Dia paham kenapa mulut Chika mengoceh tanpa saringan. Wanita itu kehabisan uang. Benedict memang belum mengecek mutasi rekeningnya. Namun, ada pemberitahuan langsung dari mulut pemakainya.
[Kenapa nggak ngasih no limit aja sih?]
Jika saja tidak mengingat persahabatan Gilbert Andes dan Efraim Budi Setiawan, Benedict mungkin akan membentak wanita itu. Mengatainya sebagai orang paling bodoh sedunia. Isi otak Chika hanya ada tiga hal, bersenang-senang, belanja dan seks. Entah apa yang bisa membuat wanita itu berubah.
"Isinya dua kali lipat dari kartu titanium milikmu, Chika. Salahmu sendiri terlalu boros." Benedict hafal kelakuan tunanganya mengoleksi barang mewah, yang akhirnya berakhir berdebu di gudang saking tidak terhitung jumlahnya.
[Pokoknya aku enggak mau tahu, kamu harus menggantinya dua kali lipat.]
"Kalau aku nggak mau?" tanya Benedict pelan sambil menegakkan punggung. Hatinya berdebar lebih cepat, Chika suka sekali mengancam. Telinganya menangkap suara tawa penuh kemenangan di seberang panggilan.
[Jangan salahkan aku kalau Samuel jadi tahu di mana istrinya.]
***
Sepi banget vote dan komennya. Bosenin kah ceritanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
SWINGER CLUB
RomanceLiliana Dermawan dan Benedict Andes bertemu di Swinger Club. Liliana dipaksa Samuel, suaminya untuk melakukan hubungan terlarang dengan Ben, sementara itu Samuel berhubungan dengan Chika, tunangan Ben. Pertemuan singkat pada malam itu tidak selesai...