LIMA BELAS TAHUN YANG LALU (2)

2.9K 116 3
                                    

Pesta itu sederhana. Pengertian sederhana versi pengusaha kelas menengah tentu berbeda dengan masyarakat biasa. Daud Lunggono sedikit melonggarkan ikat pinggang. Sepuluh tahun dia berhemat. Profit dari perusahaan bajanya diputar lagi untuk melebarkan sayap. Hura-hura, tidak. Makan mewah, tidak. Melancong ke mancanegara, tidak. Segenap pikiran, tenaga, dan modal hanya difokuskan untuk satu hal: bisnis.

Juan menguap bosan saat kakinya memasuki ruang tamu rumah Keluarga Lunggono. Apa yang tersaji di hadapannya ini hanya untuk para bocah. Pohon Natal setinggi tiga meter dipajang di tengah ruang tamu yang megah dilengkapi kado-kado sungguhan.

"Papa bakal kasih kado apa ya tahun ini?" Joy meskipun sudah berusia 15 tahun, berharap kado Natal. Sampai lulus SD dia percaya Santa Claus lah yang datang pada malam Natal meletakkan kado sesuai keinginannya jika jadi anak baik selama 11 bulan.

"Aku berharap laptop baru buat nonton," timpal Juan mengguncang pagar di sekitar area pohon natal. "Oh, kayu beneran," gumamnya.

Daud totalitas mengadakan pesta sampai menyewa pria berpakaian Santa Claus untuk duduk di samping pohon Natal. Anak kecil, anak dari rekan bisnis ayahnya, sebagian antusias meminta foto dipangku Santa. Kuap Juan berubah menjadi tawa gembira saat bocah berusia dua atau tiga tahun menarik lepas jenggot palsu si Santa Claus gadungan.

"Ci, lihat tuh." Juan menyikut dada Joy, "Aku mikir Santa itu psikopat yang pengen memangsa anak-anak kecil deh."

Liliana mendengar kalimat tidak disaring itu. Suara Juan lumayan keras. Dasar anak SMP memalukan. Juan yang bicara sembarangan, kenapa dia yang malu? Liliana berharap Joy menegur adiknya agar tidak kebablasan. Felix tadi ikun bersama mereka, tak bisa diharapkan, sebab dia sudah sibuk berbaur dengan kawan-kawannya.

"Sama, Cici juga mikir gitu tadi."

Astaga, kenapa respons Joy malah sama gila dengan adiknya?

"Pelanin suara lo, Joy," Liliana mengingatkan. Tamu undangan memang sedang asyik mengobrol satu sama lain. Namun siapa tahu ada di antara mereka yang mendengar lalu menyampaikan pada Daud Lunggono.

"Juan suka banget nonton film horor yang ada psikopat-psikopatnya. Film kayak gitu suka ada plot twist. Orang yang kelihatan ramah dan lemah, biasanya malah pembunuh berantai."

Demi Tuhan, sekarang mereka berada di rumah orang. Ini pesta Natal, waktunya bersukaria, bernyanyi, makan-makan, bukannya membahas hal-hal seram.

"Eh, ada eclair, Joy." Liliana menunjuk meja hidangan. Daud Lunggono memesan makanan terbaik. Menjamu tamu adalah misinya. Daripada membahas hal aneh, lebihbaik mereka makan.

"Hati-hati, ada racunnya," Juan mengingatkan.

"Kenapa Om Daud mau ngeracunin tamunya sendiri?" Liliana mengernyit heran dengan tuduhan Juan.

Bocah laki-laki itu mengangkat bahu. "Kalau di film, saingan bisnis suka main cara kotor. Nggak segan membunuh untuk..."

"Papaku nggak seperti itu."

Mata Liliana membelalak. Dia tak berani berbalik untuk melihat siapa yang mengatakannya.

"Hai, Samuel," sapa Joy sambil nyengir. Sedikit merasa bersalah karena kedapatan menggosipkan tuan rumah.

Liliana ingin mengelus dada. Suara pria yang menegur mereka adalah suara orang dewasa. Mereka hanya sekelompok anak remaja. Selayaknya Joy menambahkan embel-embel Koko di depan panggilannya.

"Joy."

"Sam, ini Liliana, temanku yang suka nulis."

Hanya segelintir manusia yang tahu hobi Liliana. Hobi ini menjadi semacam rahasia kecil yang harus disimpan rapat-rapat. Hermanto Dermawan ada di seberang ruangan bersama Lidia Ongkow. Kenapa Joy harus berisik sih? Liliana berharap ruang tamu Keluarga Lunggono berubah kedap suara seperti di ruang angkasa agar tidak seorang pun mendengar.

SWINGER CLUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang