Menit di jam digital baru sedikit melewati tengah malam. Lorong rumah sakit terang tetapi sunyi. Sesekali jangkrik yang bersarang di taman mengerik. Waktunya bagi orang normal bergelung dalam pelukan hangat selimut, menikmati tidur berkualitas.
Sayangnya Benedict bukan orang normal. Siang dan malam tidak ada bedanya. Pikirannya dituntut selalu aktif sepanjang hari. Ketenangan ini justru menggelisahkan. Samuel mungkin saja tengah memburu istrinya.
Maka malam itu juga, setelah mempertimbangkan kondisi Liliana cukup baik, Benedict mencari dokter jaga dan perawat yang bertanggung jawab. Dia mengurus administrasi rumah sakit lalu mengeluarkan Liliana dari sana.
Liliana kooperatif, tipe perempuan penurut yang tidak banyak bertanya. Liliana bisa dipimpin. Tidak merepotkan dan tidak melawan. Benedict kenyang menghadapi perempuan kelewat kritis. Hobi mereka adalah mempertanyakan hampir segala hal yang sudah pasti buang-buang waktu dan membuat migrain Benedict kumat.
BMW Benedict berhenti di rumah sakit kecil di pinggiran kota Bogor. Sejauh ini dia mengemudi hanya untuk memastikan Liliana aman dari kejaran Samuel.
Liliana didaftarkan dengan nama lain. Bukan Sulastri, tetapi Neneng Mutmainah. Permintaan KTP oleh petugas administrasi dijawab dengan lima lembar uang bergambar presiden Soekarno. Petugas itu pun tutup mulut, mencatat nama Neneng Mutmainah di komputer.
"Semoga kamu nyaman di sini," kata Benedict sambil mematikan AC dan membuka sedikit jendela. Bogor tidak seperti Jakarta. Tidak ada nyamuk di sini. Hawanya sejuk, selain karena malam hari juga karena bangunan tua buatan pemerintah kolonial Belanda ini dirancang secara apik oleh arsiteknya.
Perawat jaga memasang infus di punggung tangan Liliana tanpa banyak bertanya mengenai plester yang menutupi bekas jarum infus sebelumnya.
"Maaf ya, Ben, kamu jadi repot gara-gara aku." Liliana baru berani menjawab setelah perawat meninggalkannya berdua dengan Benedict. Sementara ini Liliana dapat bernapas lega meskipun tidak yakin sampai kapan. Kecil kemungkinan Samuel akan melepaskan begitu saja. Suaminya sudah pasti menyebar orang-orangnya untuk mencari si istri pembangkang sampai ke lubang semut.
"Nggak sama sekali. Aku malah merasa bersalah kalau membiarkan kamu jatuh ke tangan Samuel." Benedict menggigit lidahnya agar tidak membahas tanda kekerasan di tubuh Liliana. Membicarakannya sekarang sama saja membahas malam panas yang mereka lalui.
Kerapuhan Liliana menyulut sumbu seksual dalam diri Benedict. Dia laki-laki normal yang butuh membuang benih setidaknya seminggu sekali agar kepalanya tidak sakit. Kenikmatan dari ejakulasi karena bersenggama tak akan tertandingi jika main dengan tangan sendiri. Jujur saja, berdekatan dengan Liliana yang tak berdaya kurang bagus untuk kewarasan Benedict. Dia ingin menerkam wanita rapuh ini dan memaksanya melayani nafsu. Mungkin ini yang Samuel rasakan. Benedict melangkah menjauh.
"Aku cuma bisa nyusahin orang. Papaku, Mamaku, sahabatku, lalu sekarang kamu." Liliana menunduk murung.
"Secara natural, makhluk hidup akan menindas yang lebih lemah. Ada baiknya kamu belajar berkata tidak," kata Benedict dari seberang ruangan. Begitulah dirinya menyukai kejelasan. Kejujuran bukan keahliannya, tetapi pada saat tertentu kejujuran lebih baik dibandingkan kebohongan.
"Apa aku merepotkan?"
"Kalau aku bilang nggak, kamu pasti nggak percaya."
Liliana semakin merasa tidak enak. Insiden ini menambah panjang daftar ketololan dalam hidupnya. Saat kuliah dulu, dia tidak bersungguh-sungguh menyerap ilmu dari para dosen. Pikirannya sibuk melamun memikirkan plot novel. Entahlah apa minimnya ilmu itu berhubungan dengan ketidak mampuannya menghadapi masalah beruntun yang menyerbu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SWINGER CLUB
RomanceLiliana Dermawan dan Benedict Andes bertemu di Swinger Club. Liliana dipaksa Samuel, suaminya untuk melakukan hubungan terlarang dengan Ben, sementara itu Samuel berhubungan dengan Chika, tunangan Ben. Pertemuan singkat pada malam itu tidak selesai...