Benar ini apartemen Joy. Benedict mencocokkan nama di papan parkiran dengan tulisan Liliana. Persis sama.
Benedict sempat mencari siapa sosok Aurea Joy Wiyono di Google. Generasi kedua pemilik JAWS Guard. Anak orang kaya, maka tidak mengherankan apartemen pilihannya kelas atas begini. Harga properti di Jakarta melambung tinggi. Mayoritas generasi milenials dan seterusnya akan kesulitan membeli hunian sendiri kalau gajinya pas-pasan.
Benedict sadar yang akan ditemuinya bukan orang sembarangan. Prestasi akademik Joy tidak menonjol. Di dunia bisnis, sedikit sekali pemberitaan mengenai dirinya. Entah memang kinerja sebagai direktur keuangan biasa-biasa saja atau Joy sengaja menyembunyikan diri dari sorotan kamera.
Benedict melepas kacamata hitam lalu keluar dari mobil, mendaki undakan marmer hitam.
Pengamanan berlapis. Selain metal detector, tersedia layar komputer yang dapat memindai barang bawaan pengunjung di balik pakaian. Petugas keamanan mengawasi dengan saksama. Setelah menganggap Benedict tidak membahayakan, barulah dia dibiarkan masuk.
"Selamat pagi, Mbak. Saya mau bertemu Ibu Aurea Joy." Benedict memberi tahukan maksud kedatangannya setiba di depan meja resepsionis.
"Maaf, Ibu Joy tidak ada di tempat."
Firasat Benedict mendadak tidak enak. Meskipun biasanya dia tidak terlalu percaya pada kuasa Tuhan, sekali ini Benedict berdoa, berharap tidak ada hal buruk terjadi pada sahabat Liliana.
"Kapan kembali?" Benedict bersikap biasa, meskipun hatinya sedikit cemas.
"Belum tahu, Pak. Ibu Joy tertembak."
Pantas saja keamanannya ekstra ketat. Rupanya pihak apartemen kecolongan. Salah satu penghuninya tertembak, kenapa Benedict tidak dengar di berita ya?
Kekhawatiran Liliana benar terjadi. Benedict mengenal Keluarga Lunggono cukup lama. Kalau mendengar cerita ayahnya, obrolan Daud terkadang mengerikan. Menyingkirkan siapa saja yang menghalangi jalannya tanpa rasa berdosa. Orang-orang seperti mereka menganggap nyawa manusia tiada artinya.
Tak terhitung berapa kali Benedict mendesak ayahnya agar menjauhi Daud. Namun Gilbert beralibi, kehadirannya diperlukan untuk menasihati Daud agar tidak bertindak gila. Benedict sekarang paham. Daud bisa main bunuh sesukanya kalau tidak ada yang meluruskan jalan pikirannya.
Sikap Daud diturunkan pada putra sulungnya. Lihatlah, Samuel tega melakukan berbagai macam cara untuk memuluskan jalan, termasuk menyingkirkan penghalang.
"Siapa yang menembak?" tanya Benedict.
"Belum tahu, Pak. Bapak ada keperluan apa?" Sikap ramah sang resepsionis berubah defensif. Rekannya, seorang laki-laki muda merapat ke sisi bahunya. Benedict memperhatikan bahasa tubuh yang siaga.
"Saya teman lamanya. Joy memberi tahu sekarang dia tinggal di sini. Saya telepon tetapi nggak dijawab."
"Ibu Joy dibawa ke rumah sakit." Resepsionis ini pelit sekali memberi informasi. Senyumnya menghilang. Nada bicaranya ketus.
"Sudah lapor polisi?"
"Pihak keluarga yang mau mengurus. Sampai sekarang belum ada pihak kepolisian yang datang ke sini."
Apartemen yang aneh. Sejak kapan penembakan masuk delik aduan? Siapa pun bisa melapor pada polisi, terutama jika korbannya terluka parah dan kehilangan nyawa. Benedict gemas, tetapi tidak bisa memaksa. Bisa-bisa dia diseret oleh satpam. Reputasi sebagai pengacara mahal nan elegan harus tetap terjaga.
"Oke, kalau begitu, Mbak. Terima kasih."
Benedict sedikit kecewa saat keluar dari gedung apartemen. Mungkin SOP dari manajemen memerintahkan para karyawan tidak terlalu terbuka memberikan informasi pada orang asing.
KAMU SEDANG MEMBACA
SWINGER CLUB
RomanceLiliana Dermawan dan Benedict Andes bertemu di Swinger Club. Liliana dipaksa Samuel, suaminya untuk melakukan hubungan terlarang dengan Ben, sementara itu Samuel berhubungan dengan Chika, tunangan Ben. Pertemuan singkat pada malam itu tidak selesai...